Dark matter atau materi gelap masih menjadi misteri di bidang Fisika. Kita tidak bisa memastikan keberadaannya tapi kita bisa memastikan efek dari keberadaannya. Seperti apa proses pencarian dark matter?
Pada 1970-an, Vera Rubin dan koleganya kebingungan bukan main. Bagaimana tidak, data-data dari galaksi Andromeda menunjukkan ada yang aneh dari rotasi galaksinya. Dengan konsep gaya sentripetal dapat diketahui persebaran massa galaksi dari rotasinya. Namun, hasil perhitungan menunjukkan massa galaksi Andromeda seharusnya lebih banyak dari massa yang ada, seakan ada massa tak terlihat di galaksi tersebut [1]. Perhitungan pada galaksi-galaksi lain juga menunjukkan hal yang sama, ada massa tak terlihat yang tersebar di seluruh alam semesta.
Massa-massa tak terlihat ini diberi nama Dark Matter, atau terjemahannya Materi Gelap. Dark Matter hingga kini belum pernah terdeteksi secara langsung dan menjadi salah satu misteri terbesar alam semesta. Hasil perhitungan bahkan menunjukkan massa tak terlihat ini mencakup hingga 40% dari massa total alam semesta. Selain melalui perhitungan rotasi galaksi, tanda-tanda keberadaan Dark Matter juga diamini pada analisis Latar Gelombang Mikro Kosmis (Cosmic Microwave Background / CMB) [1]. CMB memberikan data-data pada awal alam semesta setelah Big Bang yang menunjukkan bahwa Dark Matter menjadi salah satu komposisi alam semesta.
Dark Matter tidak bereaksi dengan gelombang elektromagnet, berbeda dengan materi-materi lain yang sudah diketahui seperti Quark dan Lepton, sehingga sangat sulit dideteksi. Secara umum saintis menggunakan dua metode untuk mendeteksi Dark Matter, yaitu deteksi langsung dan deteksi tidak langsung.
Pendektesian langsung dilakukan pada proyek Large Underground Xenon (LUX). Apabila ada Dark Matter bertabrakan dengan inti atom (dalam hal ini Xenon), inti atom akan melepaskan energi yang jumlahnya sangat kecil. Energi inilah yang coba ditangkap oleh sensor LUX. LUX berada di laboratorium bawah tanah Sanford di South Dakota, Amerika Serikat. LUX ditempatkan di bawah tanah agar meminimalisir gangguan (noise) sinar kosmik di permukaan bumi. Karena energi hasil interaksi Dark Matter sangat kecil, dibutuhkan sensor yang sangat sensitif serta dibutuhkan shielding (pelindung) agar partikel selain dark matter tidak masuk ke LUX [3].
Deteksi tidak langsung dilakukan dengan menghitung komposisi dari sinar kosmis yang menghujani bumi. Secara teoretis, jika dua Dark Matter saling bertumbukan, maka keduanya akan mengalami proses anihilasi dan menghasilkan sinar gamma, positron, atau anti-proton. Ketiga partikel ini dapat ditemukan pada sinar kosmis. Dengan perhitungan tertentu, banyaknya sinar gamma, positron, atau anti-proton yang terdeteksi dapat menunjukkan adanya Dark Matter. Wahana yang mengukur komposisi sinar kosmis adalah Alpha Magnetic Spectrometer (AMS) yang ditempatkan pada satelit ISS.
Beberapa kali hasil dari AMS mengindikasikan adanya Dark Matter. Yang terbaru tahun 2017, dua kelompok studi yang berbeda menyimpulkan adanya Dark Matter dari analisis data pengukuran sinar kosmis pada AMS. Satu tim dari Jerman mengukur adanya Dark Matter dengan massa 80 GeV [4], dan tim lainnya dari Taiwan mengukur massa Dark Matter sebesar 60 GeV [5]. Kesimpulan yang sama dari dua kelompok studi yang berbeda dapat menjadi petunjuk kuat adanya Dark Matter, namun pencarian tidak berhenti di sini. Karena pendeteksiannya bersifat tidak langsung, banyaknya partikel pada sinar kosmik tidak pasti berasal dari Dark Matter namun dapat berasal dari fenomena astronomi lain. Hingga kini saintis terus mencari si partikel gelap yang tersembunyi bersama misteri-misteri yang dibawanya.
Referensi:
dan dapatkan konten-konten menarik tentang sains dan teknologi langsung di inbox email kamu