Site icon SainsPop

Stres Berkepanjangan, Berbahayakah?

Stres Berkepanjangan

Pernahkan kamu bertanya mengapa saat tubuh kelelahan, kita menjadi mudah sakit? Mengapa terlalu sering stres tidak baik untuk kesehatan tubuh? Mengapa saat kita menghadapi tantangan tertentu kita merasa berdebar-debar?

Tubuh kita mengenali berbagai jenis stimulus, baik dalam wujud fisik, kimia, ataupun emosi. Stimulus yang terlalu berat dan terus-menerus dapat menyebabkan terjadinya tekanan terhadap tubuh maupun mental yang biasa disebut sebagai stres–atau lebih tepatnya disebut distress—dan biasanya memberikan respons sistemik. Respons tubuh terhadap stres bukan hanya berupa munculnya jerawat, perubahan emosi, dan kerentanan terhadap penyakit. Stres dapat juga menyebabkan terganggunya kondisi homeostasis atau keseimbangan lingkungan internal tubuh [1], sehingga dapat mempengaruhi kerja dari banyak bagian tubuh yang terlibat.

Semua proses ini dimulai dari suatu bagian di otak yang bernama hipotalamus. Ketika sinyal stres diterima oleh otak, hipotalamus mengeluarkan hormon yang disebut sebagai corticotropin releasing hormone atau CRH. Hormon ini akan dibawa oleh aliran darah ke bagian otak lain yang bernama hipofisis (kelenjar pituitari) yang memicu dikeluarkannya hormon adrenokortikotropin atau ACTH. ACTH lalu pergi menuju kelenjar adrenal (suatu kelenjar yang terletak di atas masing-masing ginjal) dan memerintahkan untuk dikeluarkannya kortisol ke aliran darah [2,3,4]. Nah, kortisol inilah pemeran utama yang memicu berbagai macam reaksi dalam tubuh ketika kita stres.

Kortisol memiliki peran dalam regulasi berbagai proses yang meliputi proses metabolik, kardiovaskular, imun, dan perilaku. Selain itu, paparan kronik atau terus-menerus dalam jangka waktu lama dapat mengganggu kesehatan tulang dan ingatan. Hal ini terjadi karena kortisol akan menggeser keseimbangan metabolisme tubuh ke arah proses katabolik, yaitu pengerahan energi untuk menghadapi stres dengan cara meningkatkan ketersediaan gula dalam darah melalui pemecahan simpanan karbohidrat dalam tubuh (glikolisis) dan pembentukan gula dari sumber energi lain seperti lemak (glukoneogenesis). Termasuk dalam proses katabolik juga yaitu pemecahan lemak (lipolisis) untuk menyediakan bahan baku bagi glukoneogenesis dan degradasi atau pembongkaran protein untuk menyediakan asam amino yang akan dikerahkan dalam berbagai jalur oksidatif sebagai respons terhadap stres. Sementara itu, proses anabolik seperti pertumbuhan dan penyimpanan energi akan dihambat sebab kortisol memiliki efek dan fungsi yang berkebalikan dengan hormon tiroid, insulin, hormon pertumbuhan (growth hormone), dan hormon seksual [2,3,4].

Pada kondisi akut, yaitu ketika paparan terhadap stres terjadi secara mendadak dan singkat, hormon lain yang disebut sebagai vasopressin (disebut juga antidiuretic hormone atau ADH) juga dilepaskan oleh hipotalamus dan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan denyut jantung yang membuat kita berdebar-debar dan lebih waspada [3]. Inilah yang disebut sebagai respons fight or flight yang dimediasi oleh sistem saraf simpatis [4]. Respons ini bersifat positif asalkan tidak terjadi terus-menerus dalam waktu lama. Bersama dengan efek yang dihasilkan oleh kortisol berupa peningkatkan kadar gula darah, respons akut seperti ini mendukung tercapainya konsentrasi dan perhatian yang optimal.

Akan tetapi, paparan terus-menerus dalam durasi yang lama (kondisi kronis) justru menyebabkan banyak kerugian. Meningkatnya kadar gula darah, karena efek inhibisi kortisol terhadap kerja insulin, yang tidak disertai dengan penggunaan yang maksimal dapat menyebabkan terjadinya penumpukan lemak di perut dan organ dalam lainnya. Hal ini dapat berujung pada obesitas dan berkembangnya penyakit metabolik seperti diabetes, hipertensi, dan dislipidemia (kadar abnormal lemak dalam darah) [2,3,4]. Produksi kortisol yang tinggi juga dapat mengganggu pembentukan sel-sel imun sehingga pertahanan tubuh menjadi lemah dan mudah terserang penyakit [5]. Aktivitas osteoklas (sel yang berfungsi merombak matriks tulang dalam menjaga keseimbangan pergantian sel-sel) juga meningkat sebagai respons terhadap kortisol dan meningkatkan risiko terjadinya osteoporosis [6,7]. Produksi minyak dari kelenjar sebasea (kelenjar minyak) di kulit juga meningkat sehingga kulit menjadi mudah berjerawat. Gangguan tidur juga dapat muncul karena terganggunya siklus sirkadian (perubahan fisik, mental, dan perilaku yang teratur dalam siklus 24 jam) tubuh yang normalnya diatur oleh fluktuasi kadar kortisol yang teratur sesuai jam biologis [2,3,4]. Respons simpatis (respons tubuh yang diperantarai oleh sistem saraf simpatis berupa peningkatan aktivitas otak, jantung, sistem peredaran darah dan pernapasan) yang terjadi terus-menerus dapat meningkatkan volume darah dan resistensi pembuluh darah sehingga terjadilah hipertensi [8].

Referensi

[1]Stephens, M. A. C., & Wand, G. (2012). Stress and the HPA axis: role of glucocorticoids in alcohol dependence. Alcohol Research: Current Reviews, 34(4): 468–483.
[2]Kyrou, I., & Tsigos, C. (2009). Stress hormones: physiological stress and regulation of metabolism. Current Opinion in Pharmacology, 9:787–793.
[3]Smith, S. M., & Vale, W. W. (2006). The role of the hypothalamic-pituitary-adrenal axis in neuroendocrine responses to stress. Dialogues in Clinical Neuroscience, 8(4): 383–395.
[4]McKlveen, J. M., Myers, B., & Herman, J. P. (2015). The medial prefrontal cortex: coordinator of autonomic, neuroendocrine, and behavioral responses to stress. Journal of Neuroendocrinology, 27(6): 446–456.
[5]Segerstrom, S. C., & Miller, G. E. (2004). Psychological stress and the human immune system: a meta-analytic study of 30 years of inquiry. Psychological Bulletin, 130(4): 601–630.
[6]Azuma, K., Adachi, Y., Hayashi, H., & Kubo, K.Y. (2015). Chronic psychological stress as a risk factor of osteoporosis. J UOEH, 37(4): 245-253.
[7]Wippert, P., Rector, M. , Kuhn, G., & Wuertz-Kozak, K. (2017). Stress and alterations in bones: an interdisciplinary perspective. An Interdisciplinary Perspective. Front. Endocrinol., 8:96.
[8]Spruill, T. M. (2010). Chronic psychosocial stress and hypertension. Current Hypertension Reports, 12(1): 10–16.

 

Exit mobile version