Site icon SainsPop

Stres: Berat Badan Naik atau Turun?

Stres: Berat Badan Naik atau Turun

Beberapa minggu lalu kami mendapatkan tanggapan terkait artikel Stres Berkepanjangan, Berbahayakah? yang isinya kurang lebih “Kok kalo saya stres berat badan saya justru turun?”. Nah untuk menjawab tanggapan itu, di artikel ini kami akan melanjutkan pembahasan mengenai pengaruh stres terhadap berat badan yang belum terlalu banyak dibahas pada artikel sebelumnya.

Sebelum membahas lebih lanjut, berikut adalah poin penting mengenai pengaruh stres terhadap berbagai proses kompleks dalam tubuh berdasarkan artikel sebelumnya:

  1. Stres adalah suatu stimulus yang menyebabkan terganggunya keseimbangan fisiologis dalam tubuh,
  2. Tubuh merespon dengan berbagai mekanisme di mana salah satu yang utama adalah melalui aktivasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA),
  3. Efek netto dari aktivasi tersebut adalah dilepaskannya hormon kortisol ke peredaran darah yang selain akan meningkatkan respons simpatis juga menyebabkan berbagai kelainan jika terjadi secara terus-menerus atau kronis.

Sebenarnya, salah satu efek akhir dari respons terhadap stres tidak melulu berupa peningkatan berat badan. Hasil penelitian dari American Psychological Society (2007) mengenai hubungan stres pekerjaan, finansial, dan keluarga terhadap peningkatan asupan makanan serta berat badan (menggunakan survei online) menemukan hasil yang paradoks. Sekitar 43% responden melaporkan bahwa stres menyebabkan mereka makan terlalu banyak sementara 36% responden melaporkan bahwa stres menyebabkan mereka melewatkan makan. Penelitian tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh National Public Radio, Robert Wood Johnson Foundation, dan Harvard School of Public Health. Pada penelitian tersebut, 44% partisipan yang mengalami stres berat makan kurang dari biasanya sementara 39% lainnya makan lebih dari biasanya. Survei-survei tersebut mengindikasikan bahwa stres memiliki efek beragam terhadap asupan makanan.

Literatur yang ada saat ini sebenarnya tidak bisa mendukung adanya hubungan antara tekanan psikososial dengan indeks masa tubuh atau distribusi lemak baik di laki-laki maupun perempuan. Tekanan psikososial tinggi tampaknya menyebabkan peningkatan berat badan pada individu dengan obesitas tetapi menyebabkan penurunan berat badan pada individu dengan IMT yang lebih rendah.

Penurunan berat badan yang terjadi pada stres terutama merupakan akibat dari termogenesis, suatu peningkatan produksi panas yang dapat dilihat dari meningkatnya pemakaian energi basal tubuh. Proses ini dimediasi oleh peran sistem saraf simpatis (sistem saraf yang dominan saat aktivitas dan kondisi yang menegangkan) pada jaringan lemak cokelat (jaringan lemak dengan tingkat metabolisme tinggi sehingga sumber energi akan banyak dipakai untuk menghasilkan lebih banyak panas tubuh). Nah, kadar lemak cokelat ini akan bersaing dengan kadar lemak putih (lemak yang berfungsi dalam penyimpanan energi). Semakin banyak kadar lemak putih dalam tubuh, semakin sedikit kadar lemak cokelat  sehingga tubuh akan berada pada kondisi yang lebih anabolik (menyimpan energi).

Pada saat stres akut, terjadi peningkatan respons simpatis yang akan menyebabkan berkurangnya keinginan untuk makan karena saluran pencernaan mengalami penurunan gerakan peristaltik usus dan juga terjadi stimulasi termogenesis pada jaringan lemak cokelat. Pada kondisi stres kronis, kortisol-lah yang lebih banyak berperan. Efek kortisol ini tergantung pada jenis stresor yang terlibat. Stresor ringan-sedang yang terjadi secara terus-menerus akan mengganggu ritme harian produksi kortisol tubuh sehingga peningkatan gula darah terjadi sepanjang hari dan menyebabkan kondisi hiperinsulinemia (meningkatnya kadar insulin dalam darah). Sementara insulin merupakan hormon yang berperan dalam memasukkan sumber energi ke dalam sel-sel tubuh, penyimpanan energi akan terjadi di sel-sel lemak apabila energi tidak digunakan sehingga tubuh beralih ke kondisi anabolik. Apabila peningkatan kadar insulin darah dan kondisi anabolik ini terjadi secara terus-menerus, akan terbentuk deposit lemak putih, berkurangnya kadar lemak cokelat, dan terjadi peningkatan berat badan. Sementara itu, apabila stresor cukup berat atau terjadi hanya sesekali (tidak setiap hari) akan terjadi peningkatan kadar insulin darah juga; tetapi dapat diimbangi oleh respons simpatis berupa penurunan nafsu makan dan termogenesis. Pada akhirnya, hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan berat badan. Hipotesis lain ada yang menyebutkan bahwa kondisi katabolik (pemecahan energi) lebih dominan pada kondisi stres akut maupun stres berat sehingga peningkatan kadar insulin darah tidak sampai menyebabkan peningkatan berat badan.

Penelitian lain juga mengungkapkan bahwa kebiasaan membatasi asupan makanan dan kepatuhan terhadap pembatasan tersebut memengaruhi respons terhadap stres. Pada subjek yang membatasi asupan makanan, terutama wanita, cenderung untuk makan berlebih ketika mendapatkan stresor dibandingkan dengan subjek yang kesehariannya tidak membatasi asupan makan. Hal ini disebabkan oleh mudahnya mereka untuk mengalami disinhibisi asupan makanan sebagai konsekuensi dari pembatasan makan yang tidak efektif. Asupan makanan berlebih yang terjadi sebagai respons terhadap stres inilah yang menginisiasi peningkatan berat badan. Beberapa penelitian juga melaporkan bahwa pada orang-orang yang membatasi makan memiliki konsentrasi kortisol basal normal tetapi menunjukkan hiperreaktivitas respons aksis HPA terhadap stres.

 

Referensi:

  1. Harris, RBS, 2015, Chronic and acute effects of stress on energy balance: are there appropriate animal model, Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol., 308(4):R250-R265.
  2. Razzoli, M, Frontini, A, Gurney, A, Mondini, E, Cubuk, C, Katz, LS, et al, 2015, Stress-induced activation of brown adipose tissue prevents obesity in conditions of low adaptive thermogenesis, Molecular Metabolism 5, 19-33.
Exit mobile version