Akhir-akhir ini Indonesia sedang mengalami wabah difteri. Berdasarkan data yang berasal dari Kementrian Kesehatan, sejak Januari 2017, terdapat 622 kasus difteri yang terjadi di 95 kabupaten-kota yang tersebar di 20 provinsi. Dari 20 provinsi yang terjangkit, 3 provinsi yang memiliki kasus tertinggi yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten [1]. Data Kemenkes pun menyebutkan bahwa kasus difteri yang ditemukan sepanjang 2017 terjadi pada berbagai rentang usia, dari yang termuda berumur 3,5 tahun sampai yang tertua berumur 42 tahun. Selain itu, penularannya pun tidak bergantung musim karena hampir setiap waktu Kemenkes mendapatkan laporan kasus difteri. Dari semua kasus di atas, 66% yang terkena difteri memiliki status tidak diimunisasi sama sekali, 31 % tidak lengkap imunisasi, dan sisanya 3% telah melakukan imunisasi lengkap [1].
Difteri merupakan penyakit yang sudah jarang ditemukan di Indonesia sejak tahun 1990-an. Tetapi, pada tahun 2009, kasus difteri mulai muncul kembali dan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Di tahun 2017, kematian akibat wabah ini telah mencapai 32 kasus atau sekitar 5% dari keseluruhan kasus [1]. Agar kita bisa terhindar dan meminimalisir peluang terkena difteri, di artikel kali ini, SainsPop akan membahas mengenai difteri.
Difteri merupakan penyakit yang telah menginfeksi manusia berabad-abad lamanya. Penyakit ini pertama kali didokumentaskan oleh Hippocrotates pada abad ke-5 SM [2]. Kata difteri sendiri berasal dari bahasa Yunani, yang berarti “kulit yang tersembunyi”. Penyakit ini telah menyebabkan kematian selama berabad-abad, khususnya pada anak-anak. Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae yang terinfeksi oleh virus pembawa gen toksin (TOX gene) sehingga bakteri tersebut dapat memproduksi toksin (racun) [2]. Toksin yang diproduksi oleh bakteri tersebut dapat menghambat proses pembentukan protein di dalam sel. Kita tahu sendiri, tanpa protein tubuh kita tidak dapat berfungsi dengan baik dan bahkan bisa menyebabkan kematian.
Bakteri ini akan berkembang biak di sistem pernapasan bagian atas (nasofaring) penderita. Selama menginfeksi lapisan permukaan tenggorokan, bakteri tersebut memproduksi eksotoksin (racun) yang kemudian menyebabkan pembentukan selaput mirip membran di tenggorokan. Racun yang diproduksi akan masuk ke dalam aliran darah dan didistribusikan ke jaringan-jaringan tubuh. Racun ini dapat mengakibatkan penyakit komplikasi seperti myocarditis (pembengkakan dan kerusakan otot jantung) yang dapat berakibat pada kegagalan jantung. Selain itu, infeksi racun pada jaringan saraf dapat menyebabkan neuritis. Jika semakin bertambah parah, penyakit ini pada akhirnya dapat menyebabkan kematian [2,3].
Difteri merupakan penyakit yang mudah menular. Penularan terjadi melalui kontak langsung atau bisa melalui bersin/batuk oleh penderita yang kemudian terhirup oleh calon penderita lainnya [2, 4].
Gejala awal terkena penyakit ini antara lain badan terasa lemah, sakit tenggorokan, demam, serak, sakit kepala, batuk, dan pembengkakan di bagian leher. Setelah 2 sampai 3 hari, akan terbentuk selaput berwarna putih (pseudomembran) di bagian dalam tenggorokan sebelah atas dan hidung bagian dalam. Hal inilah penyebab mengapa penderita difteri merasakan kesulitan bernapas dan menelan [3].
Pencegahan terjangkitnya penyakit ini adalah melalui vaksinasi. Pada bayi, vaksinasi dilakukan ketika bayi berumur di bawah 1 tahun sebanyak 3 dosis. Kemudian dosis selanjutnya dilakukan ketika bayi berumur 18 bulan dan pada waktu anak menginjak masa sekolah SD sebanyak sekali. Setelah itu, vaksinasi dapat dilakukan setiap 10 tahun sekali [2]. Selain dengan imunisasi, pencegahan tambahan dapat dilakukan dengan selalu memakai masker di daerah rawan penyakit, rajin mencuci tangan, dan selalu menjaga kebersihan di lingkungan sekitar.
Untuk yang telah terkena penyakit ini, hal pertama yang harus dilakukan adalah pergi ke dokter atau rumah sakit. Pasien sebaiknya diisolasi selama 2-3 minggu untuk menghindari penularan sampai masa akut terlampaui. Dokter juga akan memberikan antitoksin anti-diptheria serum (ADS) dan antibiotik segera setelah terbukti terjangkit penyakit.
[1] DEPKES RI, “Meningkatnya Kasus Difteri, 3 Provinsi Sepakat Lakukan Respon Cepat.” [Online]. Available: http://www.depkes.go.id/article/view/17120700003/meningkatnya-kasus-difteri-3-provinsi-sepakat-lakukan-respon-cepat.html. [Accessed: 10-Dec-2017].
[2] CDC, “Pinkbook | Diphtheria | Epidemiology of Vaccine Preventable Diseases.” [Online]. Available: https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/dip.html. [Accessed: 10-Dec-2017].
[3] S. Weiss and A. Efstratiou, “Corynebacterium diphtheriae (Diphtheria) – Infectious Disease and Antimicrobial Agents.” [Online]. Available: http://www.antimicrobe.org/b99.asp. [Accessed: 10-Dec-2017].
[4] T. L. Hadfield, P. McEvoy, Y. Polotsky, V. A. Tzinserling, and A. A. Yakovlev, “The Pathology of Diphtheria,” J. Infect. Dis., vol. 181, no. Supplement_1, pp. S116–S120, Feb. 2000.
dan dapatkan konten-konten menarik tentang sains dan teknologi langsung di inbox email kamu
1 Comment
Perfectly written content material, thank you for entropy.