Site icon SainsPop

Vaksin: Kebal tanpa Harus Sakit

vaksin

Dalam beberapa bulan terakhir di beberapa negara di dunia termasuk Indonesia, telah terjadi outbreak atau kejadian luar biasa dari beberapa penyakit. Kejadian luar biasa tersebut meliputi difteria di Bangladesh, Yemen [1], dan Indonesia [2] (Desember 2017), campak di beberapa negara di Eropa dan Indonesia [3] (Desember 2017–Januari 2018), plague di Madagaskar [1] (November 2017), mumps di Amerika Serikat dan Selandia Baru [3] (Desember 2017), yellow fever di Nigeria [1] (September 2017), kolera di Zambia dan Kenya [1] (Oktober 2017). Kecuali plague, penyakit-penyakit tersebut dapat dicegah kejadiannya maupun komplikasinya dengan vaksin.

Lalu apa sih sebenarnya vaksinasi itu?

Vaksinasi adalah suatu cara untuk memicu sistem pertahanan tubuh agar dapat mengenali dan mengatasi kuman penyebab infeksi sebelum kuman tersebut mampu menyebabkan penyakit dalam tubuh. Sistem pertahanan tubuh yang terbentuk setelah vaksinasi menyerupai sistem pertahanan tubuh setelah mengalami infeksi alami [4]. Hanya saja, pada infeksi alami, sistem pertahanan tubuh dapat mencegah terjadinya infeksi berulang apabila sudah pernah terjangkit penyakit serupa sementara vaksinasi dapat mencegah terjadinya infeksi tanpa harus mengalami penyakitnya terlebih dahulu. Terkadang, akibat kuman penyebab infeksi terlalu kuat atau variasi kemampuan sistem pertahanan tubuh, penyakit tetap dapat terjadi pada orang-orang yang telah memperoleh vaksinasi. Meskipun demikian, infeksi yang terjadi lebih ringan dan komplikasinya dapat dicegah.

Jenis-jenis Vaksin

Terdapat 2 jenis utama, yaitu vaksin dari kuman hidup yang dilemahkan serta vaksin dari kuman mati. Vaksin yang berasal dari kuman yang dilemahkan diproduksi dengan cara memodifikasi kuman (virus atau bakteri) liar di laboratorium sehingga sifat-sifat patogeniknya (kemampuan menyebabkan penyakit) dapat dikendalikan [4]. Kuman tersebut pada saatnya mampu bertambah banyak dan membentuk sistem pertahanan tubuh terhadapnya tanpa menyebabkan penyakit. Sebagian besar vaksin jenis ini terdiri dari virus karena gen-gen yang dimiliki lebih sedikit sehingga selain pembuatannya lebih mudah juga kemungkinan kembalinya kemampuan kuman untuk menyebabkan penyakit dapat ditekan. Vaksin jenis ini dapat menghasilkan sistem pertahanan tubuh yang tahan lama hanya dengan 1–2 dosis vaksin. Akan tetapi, vaksin ini tidak boleh diberikan pada orang dengan sistem pertahanan tubuh yang menurun karena dapat menyebabkan penyakit sungguhan [5].

Jenis yang berasal dari kuman mati dapat berupa kuman (virus atau bakteri) utuh atau terdiri dari sebagian komponen kuman. Komponen kuman yang digunakan dapat berupa komponen protein, polisakarida, atau konjugasi komponen protein dengan komponen polisakarida. Komponen protein yang digunakan dapat berupa toksoid (toksin atau racun yang dinonaktifkan) atau subunit dari antigen (bagian dari kuman yang merupakan tanda pengenal paling spesifik). Komponen polisakarida yang digunakan kebanyakan berasal dari dinding sel bakteri. Sementara itu, konjugasi digunakan untuk meningkatkan potensi vaksin dengan menggabungkan komponen protein dengan komponen polisakarida secara kimia. Dibandingkan dengan vaksin yang berasal dari kuman hidup yang dilemahkan, sistem pertahanan tubuh yang dipicu oleh vaksin dari jenis ini memiliki durasi yang lebih pendek sehingga perlu dosis vaksin ulangan berkali-kali yang dikenal dengan istilah booster [4].

Di luar 2 jenis utama tersebut, terdapat jenis vaksin rekombinan yang mulai banyak diperkenalkan dan sedang dikembangkan jenis vaksin dari DNA kuman [4,5]. Vaksin rekombinan merupakan vaksin yang mengandung antigen (bagian dari kuman yang dikenali sebagai benda asing oleh tubuh) hasil dari teknologi rekayasa genetika (genetic engineering technology) [4].

Vaksin dapat diberikan dalam berbagai cara: diteteskan di mulut, disuntikkan di otot, jaringan bawah kulit, atau di kulit, dan disemprotkan di hidung. Cara pemberian vaksin tersebut disesuaikan dengan jenis vaksin agar efektif dengan efek samping minimal [6].

Sejatinya, vaksin merupakan benda asing bagi tubuh kita sehingga efek samping tetap dapat terjadi setelah seseorang mendapatkan vaksinasi. Efek samping ini dapat terjadi secara lokal, sistemik, atau berupa reaksi alergi [7].

Efek samping lokal merupakan efek samping yang muncul pada tempat dimasukkannya vaksin ke dalam tubuh, dapat berupa kemerahan, nyeri, dan bengkak pada tempat penyuntikan. Efek samping lokal biasanya muncul dalam hitungan jam dan dapat membaik dengan sendirinya. Reaksi lokal merupakan efek samping yang paling sering terjadi dan bervariasi tergantung jenis vaksinnya. Reaksi lokal yang paling berat adalah reaksi Arthus yang menyerupai reaksi alergi, terjadi akibat dosis yang terlalu banyak dan seringkali muncul pada vaksinasi difteri dan tetanus [7].

Efek samping sistemik memiliki gejala yang tidak spesifik dan meliputi demam, ruam, nyeri otot, nyeri kepala, penurunan nafsu makan, dan sebagainya. Efek samping ini dapat terjadi tidak hanya sebagai reaksi terhadap vaksin, tetapi juga dapat terjadi akibat sesuatu yang ternyata tidak memiliki hubungan dengan vaksin yang diberikan. Efek samping sistemik ini lebih sering terjadi pada vaksinasi menggunakan kuman yang dilemahkan dan kuman utuh yang dinonaktifkan. Vaksinasi menggunakan kuman yang dilemahkan juga dapat memberikan gejala-gejala yang menyerupai gejala-gejala ringan penyakit yang disebabkan oleh kuman yang sama. Gejala-gejala tersebut muncul 3–21 hari setelah vaksin diberikan [7].

Alergi dapat terjadi sebagai efek samping dari respons sistem imun terhadap komponen vaksin baik antigen, bahan pengawet, stabiliser, atau sisa komponen lainnya yang digunakan dalam proses produksi vaksin. Reaksi dapat muncul dalam bentuk berat dan mengancam nyawa yang disebut sebagai reaksi anafilaksis. Efek samping ini dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan sensitivitas terhadap vaksin sebelum dilakukan vaksinasi dan dapat diatasi dengan protokol kegawatdaruratan yang tepat [7].

Bagaimana vaksin dapat mencegah tubuh untuk tidak terkena penyakit infeksi?

Pada saat tubuh menerima vaksinasi, terjadi respons dari sistem pertahanan tubuh (sistem imun) yang menyerupai respons saat mampu melalui suatu penyakit infeksi tertentu. Respons dari sistem imun tersebut meliputi pengenalan dan pembasmian kuman penyebab infeksi. Dari proses yang dilalui tersebut akan terbentuk ingatan pada sel imun. Sel imun tersebut akan terus bersirkulasi di darah dan juga tinggal di sumsum tulang selama bertahun-tahun. Saat tubuh kembali terpapar dengan kuman penyebab penyakit yang sama, sel imun tersebut memperbanyak diri dan ingatan yang telah didapatkan akan diwariskan. Anakan yang mendapatkan warisan ingatan itu kemudian akan bersirkulasi di darah dan juga tinggal di sumsum tulang sampai prosesnya akan terulang lagi ketika terjadi paparan ulang. Ingatan yang diperoleh dan diwariskan ini sangat membantu dalam mengenali kuman penyebab penyakit sehingga akan respons sistem imun untuk membasmi kuman tersebut dapat dicetuskan dengan lebih cepat. Selain itu, terbentuk juga antibodi spesifik terhadap kuman penyebab penyakit yang kadarnya akan semakin banyak seiring dengan seringnya mendapat paparan dari kuman penyebab penyakit. Semakin banyak kadar antibodi, semakin efektif sistem imun dalam membasmi kuman [5].

Akan tetapi, respons sistem imun seperti yang telah dijelaskan di atas tidak dapat diharapkan untuk dapat terjadi pada orang-orang dengan sistem imun yang lemah seperti pada orang dengan HIV/AIDS, anak dengan gizi buruk, orang dengan diabetes mellitus, orang yang mendapatkan terapi steroid jangka panjang. Dalam hal inilah vaksinasi memiliki peran penting karena dapat menciptakan suatu imunitas komunitas atau herd immunity.

Ketika dalam suatu populasi terdapat sebagian orang dalam jumlah cukup yang memiliki imunitas (kekebalan) terhadap suatu penyakit tertentu dan karenanya sebagian orang yang tidak atau belum memperoleh imunitas tersebut menjadi terlindungi, inilah yang disebut sebagai imunitas komunitas. Semakin besar perbandingan antara yang kebal dan tidak kebal, semakin kecil kemungkinan seseorang yang rentan untuk terpapar orang yang sakit. Rantai sirkulasi suatu infeksi dalam populasi akan terputus ketika sejumlah cukup orang telah memiliki imunitas terhadap infeksi tersebut. Kondisi ini disebut juga sebagai perlindungan tak langsung [8].

Keuntungan yang dapat diperoleh dari imunitas komunitas ini terutama ditujukan untuk anak-anak yang terlalu muda untuk mendapatkan vaksinasi, orang-orang yang memiliki daya tahan tubuh rendah sehingga tidak dapat divaksin, orang-orang tua yang tidak dapat mencapai respons sistem imun optimal terhadap vaksin, orang-orang dengan imunitas terhadap vaksin yang mulai menurun, orang-orang yang tidak memiliki akses yang cukup untuk memperoleh imunisasi, dan orang-orang yang tidak divaksin atas kehendak sendiri [8].

Referensi

[1] WHO, Disease outbreak news 2017 [Online]. Available: http://www.who.int/csr/don/archive/year/2017/en/ [Diakses: 3 Februari 2018].

[2] WHO Indonesia, Indonesia started outbreak response Diphtheria immunization [Online]. Available: http://www.searo.who.int/indonesia/topics/immunization/ORI/en/ [Diakses: 3 Februari 2018].

[3] CDC, CDC Current Outbreak List [Online]. Available: https://www.cdc.gov/outbreaks/index.html [Diakses: 3 Februari 2018].

[4] CDC, 2015, Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases (The Pink Book) | Principles of Vaccination [Online]. Available: https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/prinvac.html [Diakses: 3 Februari 2018].

[5] Clem, AS, 2011, Fundamentals of vaccine immunology, J Global Infect Dis., 3(1):73-78.

[6] CDC, 2015, Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases (The Pink Book) | Vaccine Administration [Online]. Available: https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/vac-admin.html [Diakses: 3 Februari 2018].

[7] CDC, 2015, Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases (The Pink Book) | General Recommendations on Immunization [Online]. Available: https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/genrec.html [Diakses: 3 Februari 2018].

[8] Meissner, HC, 2015, Why is herd immunity so important? [Online]. Available: http://www.aappublications.org/content/36/5/14.1 [Diakses: 3 Februari 2018].

Exit mobile version