Bulan Februari 2016 menjadi tonggak sejarah bagi ilmuwan kosmologi. Setelah kurang lebih 100 tahun, prediksi Einstein mengenai adanya gelombang gravitasi akhirnya terbukti. Dalam makalah terkait, tim penelitian dari LIGO (Laser Interferometer Gravitational Wave Observatory) berhasil mendeteksi gelombang ini dari sumber sepasang lubang hitam yang bertumbukan. Lalu mengapa butuh waktu begitu lama untuk mencarinya?
Dalam ranah teori pun, gelombang gravitasi sangat kompleks untuk dimengerti. Padahal konsep teoretis sangat dibutuhkan untuk ranah eksperimen. Tahun 1963, 4 dekade setelah teori Einstein dipublikasi, menjadi titik awal pencarian gelombang gravitasi.
Di ranah eksperimen, kesulitan utamanya adalah skala gelombang ini yang sangat kecil sehingga dibutuhkan alat yang sensitif dan teliti untuk mendeteksinya. Bertahun-tahun beragam alat diciptakan untuk tujuan ini. Secara umum, alat pendeteksi gelombang gravitasi dibagi menjadi dua kategori, yaitu batang resonansi dan interferometer.
Percobaan untuk mendeteksi gelombang gravitasi dimulai oleh Weber (1960) menggunakan batang resonansi. Alat ini terdiri dari batang padat yang dapat berosilasi karena gelombang gravitasi. Osilasi dari batang diamplifikasi secara elektronik agar dapat membaca osilasi gravitasi yang kecil. Cara ini digunakan oleh peneliti lain di seluruh dunia. Namun, setelah bertahun-tahun tidak ada pendeteksian yang konsisten dan memuaskan. Sensitivitas alat tidak cukup untuk mendeteksi riak gelombang gravitasi yang terlalu kecil.
Selain menggunakan batang resonansi, cara lain adalah dengan interferometer. Alat ini terdiri dari laser yang disusun sedemikian rupa. Apabila gelombang gravitasi melewati alat ini, akan terbentuk beda fasa yang menghasilkan pola interferensi. Interferometer sendiri bukan barang baru. Michelson dan Morley pernah menggunakannya untuk mencari kecepatan absolut cahaya. Ide menggunakan interferometer untuk mendeteksi gelombang ini dikembangkan juga oleh Weber walaupun sebelumnya juga diusulkan oleh Pirani (1956) atau Gertsenshtein dan Pustovoit (1962). Weber sendiri memilih untuk mengabaikan interferometer dan fokus pada detektor batang resonansi.
Walaupun kalah populer, interferometer diwacanakan lagi pada tahun 1970. Rainer Weiss dari MIT merancang desain prototipe serta studi teknis interferometer detektor gelombang gravitasi. Desain prototipe ini masih digunakan sampai sekarang. Namun sayang waktu itu Weiss tidak mendapat sokongan dana yang dapat membantu penelitiannya.
Rancangan Weiss menarik perhatian kelompok peneliti di Munich dan Glassgow. Dua kelompok ini kemudian mengembangkan detektor interferometer. Detektor interferometer terlihat semakin menjanjikan. Pada tahun 1983 kelompok Munich dan Glassgow, yang disusul Caltech dan MIT bergabung dalam proyek raksasa membangun observatorium interferometer gelombang gravitasi (Laser Interferometer Gravitational Wave Observatory/L.I.G.O). LIGO sendiri selesai baru dibangun pada tahun 2002 setelah sebelumnya terhambat masalah teknis dan pendanaan.
Setelah lebih dari sedekade setelah beroperasi, LIGO akhirnya berhasil mendeteksi gelombang gravitasi untuk pertama kalinya pada tahun 2016. Temuan ini mengantarkan hadiah Nobel Fisika bagi Weiss beserta dua koleganya, Kip Thorne dan Barry Barish, sekaligus membuka cakrawala baru alam semesta.
dan dapatkan konten-konten menarik tentang sains dan teknologi langsung di inbox email kamu