Kesehatan mental manusia sangat rentan sekali terganggu. Tugas yang menumpuk, kemacetan lalu lintas, dan tekanan menghadapi ujian sekolah dapat menjadi penyebab terganggunya kesehatan mental. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan adalah sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan, prevalensi gangguan jiwa berat, seperti schizophrenia (gila) adalah 1,7% per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang (depkes, 2014).
Depresi adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi mental yang dicirikan oleh perasaan putus asa dan perasaan lebih dari sedih [1]. Terkadang, kondisi depresi akan membuat frustasi dan melemahkan kondisi badan [1]. Olahraga sangat berperan dalan mencegah, bahkan menyembuhkan gangguan kesehatan mental, khususnya depresi. Di Amerika, aktifitas fisik yang dilakukan secara rutin dapat mengatasi gangguan kesehatan mental seperti cemas, panik, dan fobia sosial (takut berada di tempat umum yang ramai) [2].
Beberapa penelitian membuktikan bahwa olahraga mempengaruhi dalam penurunan dan pencegahan depresi [1], dan olahraga juga dapat mempengaruhi kondisi fisik dan psikis pasien penderita depresi. Selain itu, olahraga juga menjadi media treatment untuk pasien depresi rendah sampai sedang [1]. Berikut manfaat olahraga untuk penderita depresi [1]:
- Meningkatkan kepercayaan diri.
- Bada menjadi lebih rileks.
- Membuat tidur lebih nyenyak.
- Meningkatkan mood sampai selama 12 jam.
Adapun jenis olahraga yang terbukti dapat menurunkan dan mencegah depresi [1], yaitu :
- Olahraga aerobik (jogging, bersepeda, jalan kaki, dan lari jarak jauh) akan membantu tubuh untuk melepaskan hormon yang menyebabkan timbul perasaan bahagia (dopamin dan neropinephrine).
- Yoga dan pilates membantu kondisi badan menjadi lebih rileks.
Oleh karena itu, kebiasaaan berolahraga harus ditingkatkan, minimal tiga kali dalam seminggu agar dapat mencegah munculnya depresi, dan agar produktifitas kerja terjaga.
Referensi :
[2] E. Zschucke, K. Gaudlitz, and A. Ströhle, “Exercise and physical activity in mental disorders: Clinical and experimental evidence,” J. Prev. Med. Public Heal., vol. 46, no. SUPPL.1, 2013.