Site icon SainsPop

Ilmiahkah Terapi Cuci Otak?

terapi cuci otak

Terobosan terapi stroke yang dikenal dengan istilah cuci otak (brainwash) atau brain spa kembali mengundang polemik. Sejak pertama kali dikenalkan pada tahun 2004 [1], terapi yang merupakan modifikasi dari prosedur diagnosis Digital Subtraction Angiography (DSA) ini dianggap massa telah berhasil mencegah berkembangnya bahkan ‘menyembuhkan’ stroke dan gangguan saraf lain seperti vertigo [2]. Bermula dari tujuan untuk mengurangi paparan radiasi sinar X pada prosedur DSA, prosedur modifikasi diagnosis ini berubah menjadi suatu prosedur terapi [3]. Beliau adalah Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad(K), seorang dokter TNI-AD yang disebut-sebut sebagai inventor terapi cuci otak [2].

Dalam publikasi ilmiah dr. Terawan [4,5], istilah cuci otak memang tidak disebutkan secara eksplisit. Akan tetapi, istilah ilmiah yang mewakili istilah populer cuci otak ini sendiri merupakan metode modifikasi DSA yang dilanjutkan dengan penyemprotan heparin intra arterial (intraarterial heparin flushing‒IAHF). DSA adalah suatu tindakan kedokteran di bidang radiologi atau pencitraan untuk melihat kondisi di dalam pembuluh darah, termasuk pembuluh darah otak, menggunakan kontras atau zat warna yang akan tampak dengan sinar X. Modifikasi yang dilakukan oleh dr. Terawan adalah penyemprotan heparin yang merupakan obat anti pembekuan darah ke dalam arteri (intra arterial) setelah penilaian kondisi arteri dilakukan menggunakan prosedur DSA. Heparin sendiri merupakan salah satu obat yang memang digunakan dalam prosedur DSA untuk mencegah pembekuan darah yang dapat terjadi akibat dilakukannya manipulasi pada pembuluh darah. Akan tetapi, dalam prosedur cuci otak heparin digunakan untuk menghancurkan gumpalan yang menyumbat pembuluh darah, sebagai pelebar pembuluh darah, dan/atau sebagai antioksidan untuk memfasilitasi perbaikan jaringan.

Prosedur semacam cuci otak ini sebenarnya telah banyak diteliti [6], hanya saja obat yang digunakan bukanlah heparin melainkan obat-obatan golongan trombolitik (trombus = bekuan atau gumpalan, litik = hancur) atau obat penghancur trombus. Sementara itu, heparin yang merupakan obat golongan antikoagulan (anti = tidak, koagulan = membeku) bekerja dengan mencegah terbentuknya bekuan atau gumpalan. Baik trombolitik maupun antikoagulan sama-sama bertujuan untuk memperlancar aliran darah, tetapi antikoagulan bekerja sebelum bekuan terbentuk sementara trombolitik bekerja setelah bekuan terbentuk.

Yang terjadi pada sebagian besar kasus stroke adalah aliran darah ke bagian tertentu dari otak terhambat oleh sumbatan. Sumbatan dapat berupa trombus pada dinding pembuluh darah yang sebagian besar terbentuk dari timbunan lemak, kolesterol, dan trombosit atau berupa trombus yang telah lepas dan mencapai pembuluh darah dengan diameter terkecil yang mampu dilewatinya. Terhambatnya aliran darah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang cukup sehingga terjadi kerusakan dan mengalami penurunan fungsi seperti lumpuh dan kebas. Pada kondisi ini, untuk mengembalikan fungsi otak sebelum terjadi kerusakan lebih luas, sumbatan harus dibebaskan secepat mungkin. Karena yang terjadi adalah trombus sudah terbentuk dan perlu dihancurkan agar tidak lagi menyumbat, yang digunakan paling tepat adalah obat-obatan golongan trombolitik. Hasil terbaik yang masih dapat mengungguli efek samping dapat dicapai dalam 3 jam setelah munculnya gejala pertama kali [7]. Apabila melebihi periode emas ini, hasil yang diharapkan menjadi tidak terlalu baik sementara kebanyakan orang dengan gejala stroke datang terlambat (>3 jam sejak pertama kali merasakan gejala).

Itulah mengapa banyak penelitian yang berusaha untuk mengembangkan inovasi-inovasi terapi yang dapat memperpanjang periode emas lebih dari 3 jam. Termasuk salah satunya adalah metode cuci otak yang dikembangkan oleh dr. Terawan. Dalam artikel ilmiah beliau bahkan dinyatakan bahwa metode ini memberikan harapan untuk dapat memperbaiki aliran darah pada stroke dalam periode waktu yang lebih luas, yang ditunjukkan dengan peningkatan aliran darah otak pada stroke kronik (jarak antara munculnya gejala stroke dan terapi ≥30 hari).

Penggunaan heparin dalam terapi stroke dilandaskan pada kemampuannya untuk memfasilitasi penghancuran bekuan sedini mungkin (early clot lysis), mencegah terbentuknya bekuan, dan mengurangi terjadinya sumbatan oleh trombus. Akan tetapi, penggunaan heparin juga meningkatkan risiko terjadinya perdarahan pada jaringan otak yang telah mengalami kerusakan dan daerah sekitarnya sehingga penggunaannya sangat dibatasi. Heparin dapat digunakan untuk terapi stroke pada kondisi penyempitan pembuluh darah besar di mana trombus yang melayang-layang di dalamnya berisiko untuk menyumbat atau sebagai terapi sementara sambil menunggu dilakukannya operasi apabila trombus menetap. Meskipun demikian, penelitian mengenai penggunaan heparin pada stroke apalagi stroke kronik masih terbatas sehingga karakteristik orang yang bagaimana yang dapat memperoleh manfaat belum bisa ditentukan. Selain itu, periode waktu terbaik diberikannya terapi, durasi pemberian, serta subtipe stroke yang bagaimana yang akan mendapatkan efektivitas baik masih perlu diteliti [8].

Selama ini heparin diindikasikan sebagai terapi pencegahan. Dengan mempertimbangkan potensinya sebagai terapi pengobatan, metode IAHF yang dikembangkan oleh dr. Terawan sebenarnya cukup menjanjikan. Akan tetapi, metode ini invasif atau melibatkan masuknya instrumen ke dalam tubuh sehingga tidak dapat sembarangan digunakan, apalagi pada orang yang tidak benar-benar memiliki indikasi. Selain itu, penelitian yang beliau lakukan masih berada dalam tahap peralihan dan belum melewati 4 fase penelitian klinis. Suatu terapi baru perlu diuji secara bertahap untuk menilai keamanan, dosis, efektivitas, serta efek samping. Penelitian klinis juga perlu dilakukan dengan menggunakan sampel yang dipilih secara acak, kemudian dikelompokkan menjadi kelompok yang diberi terapi baru dibandingkan dengan kelompok yang diberi terapi baku emas, dan paling baik dilakukan secara double blinded (peneliti dan pemberi terapi sama-sama tidak mengetahui jenis terapi apa yang sebenarnya diberikan pada subyek penelitian) [9]. Terapi baku emas sendiri merupakan terapi yang dijadikan acuan karena telah terbukti keamanan dan manfaatnya.

Ulasan ilmiah dari Machfoed et al. (2016) [10] menerangkan bahwa sampai saat ini tidak ada terapi khusus yang diterima sebagai secara universal untuk stroke kronik. Dinyatakan juga bahwa dari referensi ilmiah yang digunakan oleh dr. Terawan, tidak ada yang mendukung hasil penelitian. Referensi-referensi yang digunakan tidak menjelaskan bagaimana metode IAHF dapat memperbaiki fungsi motorik atau gerakan pada orang dengan stroke, di mana parameter ini adalah yang digunakan dr. Terawan untuk menguji luaran dari metode yang beliau kembangkan.

Penelitian dr. Terawan mengenai cuci otak tidak menggunakan pembanding terapi dan hanya menilai kebermaknaan efek terapi terhadap aliran darah ke otak serta kekuatan otot pada pasien dengan stroke kronik. Perbandingan dosis untuk mendapatkan dosis efektif serta keamanannya juga tidak dilakukan pada penelitian beliau. Untuk dapat diterapkan secara luas, meskipun manfaatnya dapat dilihat dari skala kecil, metode ini masih perlu pengujian lebih lanjut. Hal ini dikarenakan bisa saja efek samping atau bahaya yang tidak muncul pada kelompok skala kecil terjadi saat diterapkan secara luas. Bahkan meskipun telah berhasil melewati 4 fase penelitian klinis, suatu terapi masih terus diawasi efeknya dan dapat ditarik sewaktu-waktu apabila ternyata setelah diterapkan di populasi luas menimbulkan efek samping yang berat. Selain itu, banyaknya testimoni yang mengutarakan keberhasilan bukanlah landasan akan keamanan dan efektivitas suatu terapi karena sangat bias dan mungkin saja testimoni buruk banyak yang tidak tersampaikan sehingga hanya tampak yang baiknya saja.

Referensi

[1]Mawa Kresna, 2018, Kejanggalan Terapi ‘Brainwash’ Dokter Terawan [Online: https://tirto.id/kejanggalan-terapi-039brainwash039-dokter-terawan-cHrz, diakses pada 9 April 2018].
[2]Dian Ulfa Puspita, 2017, Sentuhan Tangan Dokter Militer ini Berhasil Sembuhkan Pasien dari Penyakit Stroke [Online: https://www.goodnewsfromindonesia.id/2017/10/11/sentuhan-tangan-dokter-militer-ini-berhasil-sembuhkan-pasien-dari-penyakit-stroke, diakses pada 9 April 2018].
[3]Stetoskoop, 2016, Digital Subtraction Angiography (DSA) of dr. Terawan [Online: http://stetoskoop.com/jurnal/digital-subtraction-angiography-dsa-of-dr-terawan, diakses pada 9 April 2018].
[4]Putranto, TA, Yusuf, I, Murtala, B, Wijaya, A, Intra arterial heparin flushing increases Manual Muscle Test–Medical Research Councils (MMT-MRC) score in chronic ischemic stroke patient, Bali Medical Journal 2016; 5(2):216-220.
[5]Putranto, TA, Yusuf, I, Murtala, B, Wijaya, A, Intra arterial heparin flushing increases cerebral blood flow in chronic ischemic stroke patients, Indones Biomed J. 2016; 8(2):119-26.
[6]O’Carroll, CB, Rubin, MN, Chong, BW, What is the role for intra-arterial therapy in acute stroke intervention?, Neurohospitalist 2015; 5(3):122-132.
[7]Sacks, D, Black, CM, Cognard, C, Connors III, JJ, Frei, D, et al., Multisociety Consensus Quality Improvement Guidelines for Intraarterial Catheter-directed Treatment of Acute Ischemic Stroke, from the American Society of Neuroradiology, Canadian Interventional Radiology Association, Cardiovascular and Interventional Radiological Society of Europe, Society for Cardiovascular Angiography and Interventions, Society of Interventional Radiology, Society of NeuroInterventional Surgery, European Society of Minimally Invasive Neurological Therapy, and Society of Vascular and Interventional Neurology, Catheterization and Cardiovascular Interventions 2013; 82:E52–E68.
[8]Ruff, IM, Jindal, JA, Use of heparin in acute ischemic stroke: is there still a role?, Curr Atheroscler Rep 2015; 17:51.
[9]Hulley, SB, Cummings, SR, Browner, WS, Grady, DG, Newman, TB 2013, Designing Clinical Research, 4 ed, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
[10]Machfoed, MH, Kurniawan, M, Usman, FS, Does intra-arterial heparin flushing (IAHF) can actually increase manual muscle test (MMT) score in chronic ischemic stroke patients?, Folia Medica Indonesiana 2016; 52(2):148‒153.
Exit mobile version