Site icon SainsPop

Memutus Rantai Penularan Difteri dengan Vaksin

Vaksin difteri

Belum lama ini telah terjadi kejadian luar biasa (KLB) difteri di Indonesia. KLB difteri didefinisikan sebagai adanya satu saja kasus difteri yang terkonfirmasi di laboratorium yang dilaporkan oleh suatu wilayah. Difteri memang pernah menjadi hal yang biasa dijumpai di Indonesia sebelum tahun 1990. Akan tetapi, pada tahun 1990, Indonesia telah dinyatakan bebas difteri [1].

Sampai dengan November 2017, menurut data dari Kementerian Kesehatan, terdapat 95 kabupaten/kota dari 20 provinsi yang melaporkan kasus difteri [2]. Pada bulan Desember 2017, di DKI Jakarta dilaporkan sebanyak 22 kasus difteri. Sementara itu, di Jawa Barat terdapat 123 kasus dengan 13 kematian dan di Banten terdapat 63 kasus dengan 9 kematian [3].

Mengapa dapat terjadi KLB?

Munculnya KLB dapat terjadi akibat adanya immunity gap atau kekosongan kekebalan dalam suatu populasi. Kekosongan kekebalan ini muncul sebagai konsekuensi dari banyaknya orang yang menjadi rentan terhadap difteri. Mereka menjadi rentan karena tidak mendapat vaksinasi atau tidak melengkapi vaksinasi [2].

Pada era pra vaksin, kekebalan terhadap difteri diperoleh dari imunitas alami, di mana kekebalan diperoleh setelah sembuh dari penyakit, atau dari antibodi yang diturunkan secara pasif dari ibu kepada bayi yang dikandungnya. Akan tetapi, tidak banyak yang dapat sembuh dari difteri karena penyakit tersebut memiliki angka kematian yang tinggi. Laju kematian difteri berkisar antara 5–10%. Pada tahun 1930-an di Inggris dan Wales, difteri merupakan salah satu dari 3 penyebab utama kematian pada anak di bawah usia 15 tahun. Pada tahun 1920-an di Amerika Serikat, dilaporkan terdapat 13.000–15.000 kematian akibat difteri dari total 100.000–200.000 kasus difteri per tahun. Sejak vaksin digunakan, terjadi penurunan cepat angka kejadian serta angka kematian difteri pada akhir 1940-an [4].

Pada populasi di mana banyak bayi yang menerima vaksinasi difteri, terjadi penurunan angka kejadian difteri pada anak-anak juga perputaran kuman difteri yang toksigenik. Akan tetapi, meskipun vaksinasi sudah banyak dilakukan pada bayi, tidak diulangnya vaksinasi hingga mencapai dosis yang dianjurkan pada usia yang lebih tua menyebabkan bertahannya kerentanan terhadap difteri pada populasi tersebut [5].

Vaksinasi sebagai pencegahan difteri

Salah satu tujuan diberikannya vaksin adalah untuk mencegah timbulnya penyakit atau mencegah komplikasi apabila timbulnya penyakit tidak dapat dicegah. Vaksin difteri yang merupakan toksoid dikembangkan pada sekitar tahun 1921 tetapi belum digunakan secara luas hingga awal 1930-an [4]. Toksoid difteri dibuat dengan menumbuhkan kuman Clostridium diphtheriae pada media cair. Kuman tersebut akan menghasilkan toksin atau racun yang selanjutnya diubah menjadi toksoid dengan cara menonaktifkannya menggunakan formalin [4]. Toksoid yang telah diperoleh lalu ditambahkan dengan garam alumunium untuk meningkatkan imunogenitasnya, yaitu kemampuannya untuk memicu respons sistem pertahanan tubuh terhadap toksin difteri [5].

Toksoid difteri dikombinasikan dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis karena memberikan efek yang lebih memuaskan [5]. Kombinasi yang digunakan pada anak berusia <7 tahun dikenal dengan DT sementara kombinasi yang digunakan pada dewasa dikenal dengan Td [4,5]. Yang membedakan keduanya adalah dosis antigen yang lebih rendah pada formulasi dewasa untuk mengurangi reaksi lokal pada tempat penyuntikan (efek samping lokal) [5]. Kombinasi lainnya meliputi DTaP (toksoid difteri dosis anak, toksoid tetanus, dan vaksin pertusis aselular), Tdap (toksoid difteri dosis dewasa, toksoid tetanus, dan vaksin pertusis aselular), pentavalen atau pentabio (toksoid difteri, toksoid tetanus, vaksin pertusis aselular, inactivated poliomyelitis, dan vaksin konjugat Haemophilus influenzae tipe b) [4,5]. Anak berusia 7 tahun ke atas sebaiknya menggunakan formulasi dewasa meskipun serial vaksinasi dengan dosis anak belum lengkap [4].

Kapan saja vaksinasi perlu dilakukan?

Dibutuhkan minimal 3 dosis vaksin untuk mencapai kadar antibodi protektif, yaitu kadar penetral racun difteri yang dihasilkan oleh sistem pertahanan tubuh mampu melindungi dari infeksi oleh kuman difteri. Setelah diberikan serial vaksin sebanyak 3 dosis dewasa atau 4 dosis anak, kadar protektif dapat tercapai pada >95% [4]. Kadar protektif dicapai pada 0,1 IU/mL atau lebih sementara kadar 0,01–0,09 IU/mL baru mampu memberikan kekebalan dasar [4,5]. Dengan kekebalan dasar, seseorang memiliki kerentanan lebih untuk terjangkit difteri dibandingkan seseorang yang telah mencapai proteksi lengkap.

Jadwal vaksinasi difteri yang dianjurkan oleh CDC (Centers for Disease Control and Prevention) adalah 4 dosis pada usia 2, 4, 6, dan 15–18 bulan. Pemberian antar dosis (dosis 1–3) memerlukan minimal jeda selama 4 minggu. Sementara itu, dosis ke-4 diberikan tidak boleh kurang dari 6 bulan jarak dari dosis ke-3 dan tidak boleh diberikan pada usia kurang dari 12 bulan. Vaksin booster (dosis tambahan untuk mempertahankan kadar antibodi protektif) menggunakan kombinasi DTaP direkomendasikan untuk diberikan pada usia 4–6 tahun ketika 4 dosis telah lengkap diberikan sebelum usia 4 tahun. Vaksin booster dapat kembali diberikan pada usia 11 atau 12 tahun menggunakan vaksin dewasa (Tdap), dan dapat diulang setiap 10 tahun hanya dengan menggunakan kombinasi Td [4].

Pada anak-anak yang memiliki pantangan terhadap vaksin pertusis, vaksinasi difteri dapat dilakukan menggunakan vaksin DT. Apabila kombinasi vaksin diberikan pertama kali pada usia kurang dari 12 bulan, anak perlu mendapatkan 4 dosis utama DT. Sementara itu, apabila anak menerima kombinasi vaksin pertama kali pada usia 12 bulan atau lebih, cukup 3 dosis DT (dosis ke-3 harus berjarak 6–12 bulan dari dosis ke-2) yang diperlukan untuk melengkapi serial vaksinasi DT [4].

Vaksin dosis dewasa (Tdap, Td) terdiri dari 3 atau 4 dosis utama. Pada orang berusia 7 tahun atau lebih yang belum pernah mendapatkan vaksinasi difteri sama sekali, dibutuhkan 3 dosis utama dengan jarak antara 2 dosis pertama minimal 4 minggu dan dosis ketiga berjarak 6–12 bulan setelah dosis kedua. Vaksin booster menggunakan kombinasi Td selanjutnya dapat diberikan setiap 10 tahun. Apabila seseorang tidak pernah mendapatkan vaksin kombinasi Tdap, salah satu dari vaksin booster perlu menggunakan kombinasi Tdap [4].

Menurut jadwal vaksinasi yang direkomendasikan IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) pada tahun 2017, vaksinasi DPT (toksoid difteri dosis anak, vaksin pertusis utuh, dan toksoid tetanus) dianjurkan untuk diberikan pada usia 2, 3, 4 bulan (3 dosis vaksinasi dasar), 18 bulan, dan 5 tahun (2 dosis vaksinasi tambahan). Vaksinasi dapat diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dosis dewasa Td atau Tdap diberikan pertama kali pada usia 10 – 12 tahun lalu dapat dilanjutkan dengan vaksin booster setiap 10 tahun. Apabila menggunakan vaksin DTaP, jadwal yang direkomendasikan mengikuti jadwal rekomendasi CDC [6].

Interupsi pada jadwal yang direkomendasikan atau keterlambatan dalam pemberian dosis selanjutnya tidak mengurangi kemampuan sistem pertahanan tubuh selama dosis utama telah lengkap diberikan sehingga tidak perlu mengulangi dosis yang diperlukan. Seseorang yang sedang mengalami penyembuhan dari difteri tetap dianjurkan untuk memulai atau melengkapi vaksinasi menggunakan toksoid difteri selama masa penyembuhan. Vaksin difteri tidak boleh diberikan kepada orang yang memiliki riwayat reaksi alergi berat (anafilaksis) terhadap komponen vaksin maupun terhadap dosis vaksin sebelumnya serta orang yang sedang sakit sedang hingga berat. Vaksin difteri tetap boleh diberikan pada orang yang sedang sakit ringan dan orang hamil [4].

Efek samping vaksinasi

Efek samping yang dapat muncul setelah vaksinasi difteri hampir sama dengan efek samping vaksinasi pada umumnya, yaitu meliputi efek samping lokal, sistemik, dan alergi. Efek samping lokal dapat berupa kemerahan, bengkak, benjolan seperti bisul, atau abses (benjolan berisi nanah). Efek samping lokal yang cukup berat, yaitu reaksi Arthus, yang biasanya muncul dalam 2–8 jam setelah penyuntikan sebagai pembengkakan luas yang nyeri dan seringkali melibatkan bahu hingga siku. Reaksi tersebut paling sering terjadi pada orang dewasa, terutama yang memiliki kadar antibodi yang sangat tinggi terhadap toksin difteri. Pada orang dengan reaksi seperti ini, pemberian vaksinasi booster Td perlu dijarangkan [4].

Keberhasilan pencegahan difteri melalui vaksinasi sangat ditentukan oleh cakupan vaksinasi yang perlu mencapai minimal 95% [2]. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi immunity gap sehingga rantai penularan dapat diputus. Tidak hanya pada difteri, pada dasarnya cakupan vaksinasi yang luas juga dapat memutus rantai penularan penyakit menular lainnya seperti tetanus, tuberkulosis, polio, dan sebagainya.

 

Referensi

[1]Kemenkes, 2017, Ini Makna KLB Difteri [Online]. Available: http://www.depkes.go.id/article/view/17121200001/ini-makna-klb-difteri.html [Diakses: 4 Februari 2018].
[2]Kemenkes, 2017, Imunisasi Efektif Cegah Difteri [Online]. Available: http://www.depkes.go.id/article/view/17120500001/-imunisasi-efektif-cegah-difteri.html [Diakses: 4 Februari 2018].
[3]Kemenkes, 2017, Meningkatnya Kasus Difteri, 3 Provinsi Sepakat Lakukan Respon Cepat [Online]. Available: http://www.depkes.go.id/article/view/17120700003/meningkatnya-kasus-difteri-3-provinsi-sepakat-lakukan-respon-cepat.html [Diakses: 4 Februari 2018].
[4]CDC, 2015, Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases (The Pink Book) | Diphtheria [Online]. Available: https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/dip.html [Diakses: 4 Februari 2018].
[5]WHO, 2009, The Immunological Basis for Immunization Series | Module 2: Diphtheria, WHO Press, Geneva.
[6]IDAI, 2017, Jadwal Imunisasi Anak Usia 0–18 Tahun Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017. Available: http://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-2017 [Diakses: 4 Februari 2018].

 

Exit mobile version