Site icon SainsPop

Kaki Gajah: Penyakit Menular yang Menahun

 

Sebagaimana banyak diiklankan di media massa, sebulan yang lalu adalah Bulan Eliminasi Kaki Gajah atau dikenal dengan singkatan BELKAGA. Kampanye ini merupakan upaya yang diusung oleh pemerintah Indonesia untuk mempercepat terwujudnya Indonesia Bebas Kaki Gajah. BELKAGA pertama kali dicanangkan pada tanggal 1 Oktober 2015 di Cibinong, Bogor [1].

 

Indonesia Daerah Endemik Kaki Gajah

Sebanyak 120 juta orang di 83 negara di dunia, terutama yang tinggal di daerah tropis dan subtropis [2], terjangkit “filariasis limfatik” atau lebih umum dikenal dengan kaki gajah. Sebelum tahun 2000, 81 negara di dunia dinyatakan sebagai daerah endemik kaki gajah [3, 4]. Peluncuran Global Programme to Eliminate Lymphatic Filariasis (GPELF) oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 2000 menjadi langkah permulaan untuk mencapai eliminasi penyakit ini pada tahun 2020 [3].

Meskipun jumlah kejadian penyakit telah berhasil ditekan, masih terdapat 52 negara yang belum bebas dari status endemik kaki gajah [4]. Yang dimaksud dengan daerah endemik sendiri adalah daerah di mana penyakit mewabah dan meluas tetapi hanya terbatas pada daerah tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan lingkungan wilayah tersebut yang biasanya ideal bagi perkembangbiakan dan penyebaran penyebab maupun perantara penyakit. Dalam kasus ini, daerah endemik pada umumnya merupakan daerah dataran rendah di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa, dan hutan [2]. Lebih dari 300 juta kasus kaki gajah terdapat di wilayah Asia Tenggara. Indonesia merupakan salah satu dari 9 negara endemik di kawasan Asia Tenggara dengan menyumbang hingga hampir 15 ribu kasus pada tahun 2014 [5]. Pada tahun 2016, catatan dari Kemenkes menyebutkan bahwa 236 kabupaten/kota di Indonesia merupakan daerah endemik kaki gajah [6].

Gambar 1. Daerah Endemik Kaki Gajah di Indonesia (Sumber: Pusdatin, 2015).

 

Penyakit yang Menyebabkan Kecacatan

Kaki gajah memang tidak mematikan, tetapi memiliki dampak buruk yang berarti. Tidak hanya berupa kecacatan seumur hidup, namun dapat menimbulkan stigma sosial berupa pengucilan dan terganggunya kegiatan sosial. Selain itu, orang dengan yang memnderita penyakit ini juga mengalami penurunan produktivitas karena tidak dapat bekerja. Beban ekonomi tidak hanya berasal dari menurunnya penghasilan, tetapi juga ditambah dengan biaya berobat dan hilangnya waktu produktif anggota keluarga karena merawat orang tersebut [5].

Kaki gajah disebabkan oleh spesies cacing filaria yang bernama Wurchereria bancrofti, Brugia malayi, atau Brugia timori. Tidak seperti negara endemik lainnya, ketiga spesies cacing tersebut dapat ditemukan di Indonesia. Dari 3 spesies cacing tersebut, masing-masing memiliki tipe berbeda yang menunjukkan perilaku dan habitat cacing. Cacing filaria dibawa oleh nyamuk dari genus Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes, dan Armigeres untuk ditularkan ke manusia. Dari 5 genus tersebut, diketahui terdapat 23 spesies nyamuk sebagai perantara penularan kaki gajah di Indonesia [2].

Proses penularan [2]:

Cacing berkembang di dalam tubuh nyamuk

Anak cacing yang dihasilkan oleh cacing dewasa disebut sebagai mikrofilaria. Saat nyamuk menghisap darah, mikrofilaria ikut terbawa masuk ke dalam lambung nyamuk. Di dalam tubuh nyamuk, mikrofilaria berpindah dari lambung menuju otot atau jaringan lemak dan secara bertahap berubah menjadi larva stadium 1, stadium 2, hingga stadium 3. Setelah menjadi larva stadium 3, cacing dapat menginfeksi manusia apabila nyamuk yang membawanya menggigit manusia tersebut.

Gambar 2. Ilustrasi Bentuk A) Mikrofilaria, B) Larva Stadium 1, C) Larva Stadium 2, D) Larva Stadium 3.

 

Pertumbuhan cacing di dalam tubuh manusia

Larva stadium 3 masuk ke dalam tubuh manusia melalui lubang gigitan nyamuk. Setelah berhasil masuk, larva stadium 3 menuju ke kelenjar getah bening dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Periode waktu yang dibutuhkan larva stadium 3 berbeda-beda antar spesies: 3,5 bulan untuk Brugia malayi dan Brugia timori, 6–12 bulan untuk Wurchereria bancrofti.

Gambar 3. Ilustrasi Bentuk Cacing Dewasa.

 

Sumbatan getah bening menyebabkan pembengkakan jaringan

Sebagai cacing dewasa, cacing filaria dapat menyumbat saluran getah bening sehingga aliran getah bening menjadi terganggu. Saluran getah bening pada manusia berfungsi untuk menjaga komposisi cairan yang berasal dari metabolisme sel di jaringan sekitarnya dengan mengalirkannya menuju peredaran darah. Apabila saluran tersebut tersumbat, cairan tidak dapat dialirkan menuju peredaran darah dan terjadilah pembengkakan jaringan. Biasanya saluran getah bening yang mengalami sumbatan berada di selangkangan sehingga kaki yang membesar seperti kaki pada gajah memang menjadi tampakan tersering dari filariasis limfatik. Pembengkakan juga dapat terjadi di lengan apabila sumbatan terjadi di saluran getah bening ketiak. Cacing dewasa dapat bertahan hidup dalam tubuh manusia hingga 5–7 tahun sehingga itulah kenapa penyakit ini dapat bersifat menahun.

Gambar 4. Skema Penularan Kaki Gajah (Sumber: Pusdatin, 2015).

 

Minum Obat Setahun Sekali

Program pemberantasan penyakit ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1975 [1, 2]. Akan tetapi, program eliminasi baru ditetapkan menjadi kewajiban pemerintah daerah pada tanggal 18 November 2005. Sampai tahun 2014, penanganan kasus kaki gajah masih di bawah 50% sehingga dicanangkanlah BELKAGA untuk mempercepat tujuan Indonesia terbebas dari kaki gajah [1].

Pemberian Obat Pencegahan secara Massal (POPM) merupakan strategi yang diintegrasikan dengan BELKAGA untuk mencegah penularannya di daerah endemik. POPM dilakukan terhadap semua penduduk wilayah kabupaten/kota endemik yang berusia 2–70 tahun dengan memberikan obat cacing dietilkarbamazin dan albendazol. Kedua obat tersebut diberikan secara massal bersamaan untuk membunuh mikrofilaria dalam darah setiap penduduk. Tujuannya adalah untuk mencegah penularan sekaligus mematikan cacing dewasa untuk mencegah lahirnya mikrofilaria baru sehingga dalam waktu bersamaan dapat memutus rantai penularan kaki gajah [2].

Obat cacing perlu diminum setahun sekali selama 5 tahun berturut-turut oleh penduduk wilayah endemik yang tidak menunjukkan gejala terinfeksi filariasis. Gejala terinfeksi tidak harus berupa munculnya tampakan kaki gajah, tetapi juga dapat berupa deteksi mikrofilaria melalui pemeriksaan darah, menunjukkan gejala akut seperti demam, sakit kepala, rasa lemah, munculnya abses atau benjolan berisi nanah, peradangan buah pelir, menunjukkan gejala kronik seperti pembengkakan di berbagai tempat (tungkai, lengan, daerah kemaluan, payudara) dan kebocoran cairan getah bening ke dalam urin (air kencing seperti susu). Apabila ditemukan gejala atau tanda terinfeksi, pengobatan terhadap infeksi harus diberikan terlebih dahulu sebelum orang tersebut diikutkan dalam POPM di tahun berikutnya [2].

 

Referensi

[1] Pusdatin. Filariasis. Jakarta: Infodatin; 2015.

[2] Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2014 Tentang Penanggulangan Filariasis.

[3] World Health Organization (WHO). Global Programme to Eliminate, Monitoring and Epidemiological Assessment of Mass Drug Administration: Lymphatic Filariasis, Manual for National Elimination Programmes. Geneva: WHO Press; 2011.

[4] World Health Organization (WHO). Lymphatic Filariasis. 2018. http://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/lymphatic-filariasis [diakses 12 Oktober 2018].

[5] Pusdatin. Situasi Filariasis di Indonesia Tahun 2015. Jakarta: Infodatin; 2016.

[6] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Menkes: Ayo Wujudkan Keluarga Indonesia yang Bebas Kaki Gajah. 2017. http://www.depkes.go.id/article/print/17100900003/menkes-ayo-wujudkan-keluarga-indonesia-yang-bebas-kaki-gajah.html [diakses 12 Oktober 2018].

Exit mobile version