Site icon SainsPop

Mikrobioma, Para Tamu Mungil Penghuni Tubuh Kita

Selama ini, kamu mungkin sering menganggap mikroba sebagai makhluk jahat karena bertanggung jawab atas penularan banyak penyakit. Padahal setiap manusia–termasuk dirimu sendiri–selalu hidup bersama begitu banyak mikroba semenjak lahir. Malahan sebenarnya, pada tubuh manusia ada lebih banyak sel mikroba, terutama bakteri, daripada sel manusia itu sendiri (1).

Dulu, janin dipercaya sebagai lingkungan yang steril. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, anggapan itu kini terbukti salah karena diketahui bahwa di plasenta pun terdapat kumpulan mikroba (2). Dalam dua dekade terakhir, riset tentang mikroba sebagai penghuni tubuh makroorganisme ini berkembang pesat. Istilah “mikrobioma” pun diberikan untuk merujuk kepada kumpulan mikroba berikut seperangkat gennya.

Sebagaimana perbedaan iklim di benua yang berbeda, masing-masing bagian tubuh menyediakan lingkungan yang khas sebagai habitat para mikroba. Karenanya, setiap bagian tubuh memiliki struktur mikrobioma tersendiri. Misalnya, sekitar separuh anggota mikrobioma kulit adalah bakteri dari filum Actinobacteria (3). Sedangkan penghuni usus hampir seluruhnya disusun oleh bakteri dari dua filum saja, Bacteroidetes dan Firmicutes (4).

Manfaat Mikrobioma

Usus merupakan bagian tubuh yang dihuni oleh setidaknya 70% mikrobioma manusia. Mikrobioma usus ini juga yang sudah paling banyak diteliti dibanding mikrobioma di bagian tubuh lainnya. Kehadiran para tamu kecil yang hidup di usus kita memberikan beberapa manfaat berikut (5):

Komposisi mikrobioma dan kondisi kesehatan manusia sebagai inangnya bersifat saling mempengaruhi. Para ilmuwan sudah mengetahui bahwa perbandingan dua jenis bakteri (bakteri filum Bacteroidetes versus bakteri filum Firmicutes) di dalam usus ternyata mempengaruhi resiko obesitas. Orang gemuk bakteri Firmucutesnya lebih banyak, sedangkan orang kurus dan normal bakteri Bacteroidetes-nya yang lebih banyak (6). Di sisi lain, komposisi mikrobioma manusia bisa berbeda dari orang ke orang karena dipengaruhi berbagai hal; mulai dari cara persalinan, kondisi genetik, sampai gaya hidup termasuk pola makan.

Makanan bisa mengubah komposisi mikrobioma dalam waktu yang lumayan cepat. Perubahan pola makan dapat mengubah komposisi mikrobioma usus dalam hitungan hari saja. Misalnya, bila kita mengganti pola makan menjadi kaya makanan hewani, kelompok bakteri di usus yang aktif mencerna karbohidrat kompleks dari tanaman jumlahnya cenderung menurun(7). Selain itu, bakteri yang terdapat dalam makanan juga bisa hidup di dalam usus kita, termasuk bakteri patogen alias penyebab penyakit, khususnya penyakit infeksi. Misalnya diare akibat infeksi bakteri tertentu.

Nah, bakteri yang kita dapatkan dari luar tubuh juga mampu mentransfer gennya kepada bakteri yang sudah ada di usus kita. Beberapa tahun lalu ditemukan bahwa pada mikrobioma orang Jepang, terdapat gen yang menghasilkan enzim untuk mencerna porfiran, suatu karbohidrat kompleks yang terdapat di rumput laut. Gen ini ternyata sama dengan gen bakteri yang secara alami hidup di rumput laut namun tidak ada di mikrobioma orang Amerika. Rumput laut sendiri merupakan makanan yang umum di Jepang, sehingga memungkinkan gen tersebut berpindah ke mikrobioma orang yang rutin memakannya. (8)

Bukan tidak mungkin, gen resisten antibiotik ditularkan ke bakteri lain yang ada di tubuh kita, menyebabkan penyakit infeksi makin sulit disembuhkan. Wawasan tentang mikrobioma pun turut menekankan pentingnya untuk menjaga kebersihan sistem produksi pangan untuk mencegah penyebaran bakteri resisten antibiotik.

Sebagai cabang ilmu yang relatif baru berkembang, masih banyak pengetahuan baru yang akan disingkap melalui riset seputar mikrobioma. Para ilmuwan telah mempertimbangkan kemungkinan dilakukannya transplantasi feses dari orang normal ke orang obesitas sebagai upaya perbaikan komposisi mikrobioma. Bukan tidak mungkin di masa depan, terapi berbagai penyakit pun dapat dilakukan dengan pengendalian komposisi mikrobioma yang terlibat.

Referensi

  1. Sleator RD. The human superorganism – of microbes and men. Med Hypotheses [Internet]. Elsevier; 2010 Feb 1 [cited 2016 Apr 9];74(2):214–5. Available from: http://www.medical-hypotheses.com/article/S0306987709006586/fulltext
  2. https://www.nature.com/news/bacteria-found-in-healthy-placentas-1.15274
  3. Gao Z, Tseng C -h., Pei Z, Blaser MJ. Molecular analysis of human forearm superficial skin bacterial biota. Proc Natl Acad Sci [Internet]. 2007;104(8):2927–32. Available from: http://www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas.0607077104
  4. Eckburg PB, Bik EM, Bernstein CN, Purdom E, Dethlefsen L, Sargent M, et al. Diversity of the human intestinal microbial flora. Science [Internet]. 2005;308(5728):1635–8. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15831718%5Cnhttp://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=PMC1395357
  5. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21910623
  6. https://www.nature.com/articles/4441022a
  7. David LA, Maurice CF, Carmody RN, Gootenberg DB, Button JE, Wolfe BE, et al. Diet rapidly and reproducibly alters the human gut microbiome. Nature [Internet]. NIH Public Access; 2014 Jan 23 [cited 2017 Dec 9]; 505(7484):559–63. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24336217http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24336217
  8. Hehemann JH, Correc G, Barbeyron T, Helbert W, Czjzek M, Michel G. Transfer of carbohydrate-active enzymes from marine bacteria to Japanese gut microbiota. Nature. 2010;
Exit mobile version