Di suatu pagi di bulan Desember, kamu sedang menikmati sarapan sembari menonton televisi yang menayangkan perkiraan cuaca. Sang pembawa acara mengatakan bahwa prediksi cuaca hari itu adalah cerah. Kamu mungkin bertanya dalam hati, “Apakah benar prediksi cuaca ini? Ini kan bulan Desember yang biasanya hujan. Dua hari yang lalu pun hujan deras”.
Ketika prediksi cuaca tersebut dari lembaga kredibel, sebagai contoh BMKG, kamu seharusnya mempercayai prediksi tersebut bukan? Dan semestinya prediksi tersebut dilakukan berdasarkan kaidah ilmiah yang baik. Kira-kira apakah kamu mempercayai prediksi ilmiah BMKG (logika) atau kata hatimu (intuisi)? Apakah keduanya berlawanan? Apakah logika berarti berpikir menggunakan akal sedangkan intuisi adalah cara berpikir menggunakan hati?
Sekarang kita ambil contoh mirip lainnya. Ketika kamu ditanya berapakah rata-rata dari suatu set angka [ 2,4,7,3,4,5,2,3,8,5] ini? Dengan beberapa saat berpikir (mungkin juga menghitung dengan kalkulator), kamu akan jawab 4.3; hasil dari penjumlahan semua angka dibagi banyaknya kemunculan angka, iya kan? Apakah semua itu hasil dari intuisi atau logika? Apakah kamu menggunakan akal atau hati saat menjawabnya?
Pertama, kita memiliki metoda yang namanya “Maximum Likelihood” yang bisa digunakan untuk mengestimasi rata-rata (atau biasa didenotasikan dengan μ) — terima kasih salah satunya kepada Ronald Fisher yang memperkenalkan metode ini kepada kita[1][2]. Kita akan gunakan yang namanya probability density function yang bisa ditemukan di sini. Dengan sedikit transformasi ke dalam bentuk logaritmik dan turunan pertama atas μ, maka kita akan peroleh formula sebagai berikut: 2i=1nxi-μ22=0; di mana x adalah suatu angka dan n adalah banyaknya angka. Kemudian dengan matematika sederhana kita akan dapatkan μ=i=1nxin. Rumus/formula yang, buat banyak orang, sudah hafal di luar kepala. Wow, ajaib!
Apakah ini sebuah kebetulan bahwa, pada akhirnya, intuisi sama dengan logika? Mungkin tidak. Di sini, penggunaan Maximum Likelihood, sehingga memperoleh formula tersebut, dapat diartikan sebagai jembatan logika yang mengakomodasi intuisi bahwa nilai harapan atas rata-rata dari set angka tersebut berada pada μ.
Satu hal yang mungkin membingungkan adalah batas antara intuisi dan logika itu sendiri. Herbert Simon, penerima nobel ilmu ekonomika 1978, berargumen bahwa ada perbedaan karakteristik antara logika dan intuisi[6]. Logika biasanya dibangun dari alternatif kombinasi dengan perhitungan dan konsekuensi yang jelas. Di sisi lain, intuisi biasanya adalah respon atas kebutuhan untuk memutuskan suatu hal dengan cepat berbasis keyakinan dari pengalaman. Dari sini mulai bisa terlihat koneksi antara keduanya yang mana intuisi dibangun dari logika yang diyakini benar dan dilakukan secara berulang. Sebagai tambahan, intuisi memberikan gambaran secara cepat atas sebuah proposisi, seperti pada contoh kasus prediksi cuaca di atas[5].
Lalu apakah seseorang yang menggunakan intuisi untuk memprediksi cuaca di atas melakukan kesalahan, atau ngawur? Bisa jadi tidak karena setidaknya intuisinya telah dibangun dari pengetahuan dan pengalaman yang ada. Hasil studi menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya memiliki pengetahuan implisit mengenai logika dasar dan mengalaminya secara berulang dalam rentang waktu yang cukup panjang[3][4]. Hanya saja kemungkinan intuisinya akan menjadi kenyataan lebih kecil daripada prediksi cuaca BMKG mengingat perbedaan data, akurasi alat ukur, dan keunggulan kognitif lainnya.
Contoh konkret lainnya adalah ketika kamu melihat nelayan akan pergi melaut. Tanpa banyak berpikir, kamu (pasti) tahu kalau perahunya akan berlayar dengan baik, tidak tenggelam — dengan asumsi perahunya tidak berlubang atau rusak. Apakah kamu hanya ngawur saja atau kamu telah membangun logika intuitif sejak lama? Bagaimana dengan hukum massa jenis yang (mungkin) telah kamu pelajari sewaktu SD? Di sini, seharusnya kamu mengaplikasikannya dengan baik.
Bagaimana jika seseorang tersebut, tanpa pengetahuan dan pengalaman, mengatakan punya prediksi dari sebuah intuisi? Nah itu mungkin baru bisa disebut ngawur, atau intuisinya tidak pernah dibangun melalui logika yang baik.
Referensi
[1] Fisher, R. A. (1922). On the mathematical foundations of theoretical statistics. Philosophical Transactions of the Royal Society of London, 222: 309-368.
[2] Fraser, D. A. S., McDunnough, P., Naderi, A., & Plante, A. (1995). On the definition of probability densities and sufficiency of the likelihood map. Probability and Mathematical Statistics, 15: 301-310.
[3] Nakamura, H., & Kawaguchi, J. (2016). People like logical truth: Testing the intuitive detection of logical value in basic propositions. PLoS ONE, 11(12): e0169166. doi:10.1371/journal.pone.0169166
[4] Neys, W. D. (2012). Bias and conflicts: A case for logical intuitions. Perspective on Psychological Science, 7(1): 28-38.
[5] Parsons, C. (1980). Mathematical Intuition. Chapter in “Proceedings of the Aristotelian Society Vol. 80”: Oxford University Press.
[6] Simon, H. A. (1987). Making management decisions: The role of intuition and emotion. The Academy of Management Executive, 1(1): 57-64.
dan dapatkan konten-konten menarik tentang sains dan teknologi langsung di inbox email kamu
2 Comments
Bellissima💐
terjemahan google traslate