Site icon SainsPop

Paradoks St Petersburg dan Pionir Konsep Rasionalitas

Pernahkah kamu menentukan sesuatu dari dua opsi menggunakan lemparan koin? Mungkin sebagian besar pembaca pernah melakukannya. Sebagai contoh pergi futsal bareng teman atau kencan bareng pacar, atau mungkin sesederhana seperti pergi ke kanan atau ke kiri. Sederhananya, kita menggunakan koin karena kita (seharusnya) tahu dan percaya bahwa probabilitas salah satu sisi koin untuk muncul ketika kita lempar adalah setengah (1/2). Sekarang kita coba sedikit bermain. Jika dalam satu lemparan, sisi angka yang muncul maka kamu mendapatkan 100 ribu rupiah. Tetapi jika sisi gambar yang muncul maka kamu tidak dapat apa-apa. Sesuai matematika dasar yang pernah kita pelajari, nilai harapan dari lemparan tersebut adalah: ½*100 ribu + ½*0 = 50 ribu. 

Sumber: 123rf.com

Nah sekarang bagaimana jika kita lempar koin tersebut sampai muncul sisi angka, dan selesailah permainan? Jika sisi angka belum muncul maka hadiah akan dilipatgandakan di lemparan selanjutnya. Sebagai contoh, jika sisi angka muncul di lemparan ketiga, maka kamu akan dapat 400 ribu; hasil dari (L1 = 100 ribu, L2 = 200 ribu, L3 = 400 ribu). Pertanyaan menggelitiknya adalah di lemparan ke berapa kira-kira akan muncul sisi angka? Jika tebakanmu benar maka kamu akan mendapat hadiah sesuai dengan ketentuan penggandaan hadiah. Dan jika kita anggap bahwa kamu harus membayar untuk ikut permainan ini, kira-kira seberapa besar kamu mau membayar?

 

Paradoks St Petersburg

Dengan menggunakan matematika dasar, probabilitas munculnya sisi angka pertama kali di lemparan ke-n adalah ½n. Implikasinya, sebagai contoh, adalah jika kamu yakin sisi angka akan muncul pada lemparan kedua, maka probabilitas sisi angka akan muncul pada lemparan kedua adalah ¼. Lebih lanjut, nilai harapan untuk keyakinan ini adalah jumlah nilai harapan di masing-masing lemparan, yaitu ½*100 ribu + ¼*200 ribu = 100 ribu. 

Kembali pada pertanyaan sebelumnya, seberapa besar kamu mau membayar untuk tebakan pada lemparan ke berapa akan muncul sisi angka? Apakah kamu menilainya menggunakan prosedur nilai harapan? Sebagian besar orang sepertinya tidak menggunakannya jika mengacu pada hasil eksperimen ekonomi yang cukup populer seperti Allais (1953) dan Kahneman dan Tversky (1979). Lalu apakah orang-orang tersebut cenderung tidak berpikir rasional?

Sebenarnya tidak sulit untuk menjawabnya jika kita menyadari bahwa setiap individu punya caranya sendiri dalam berpikir. Pun bukan berarti bahwa tidak menggunakan nilai harapan adalah cara berpikir irasional. Fenomena ini sudah dieksplorasi oleh Nicolas Bernoulli pada awal 1700an yang menemukan paradoks bahwa seseorang tidak menggunakan nilai harapan untuk menentukan “harga” yang pantas di masing-masing lemparan. Adik Nicolas, Daniel, kemudian mendokumentasikan dan mempresentasikan fenomena ini pada 1738 di St Petersburg Academy Proceeding sehingga paradoks ini dikenal sebagai St. Petersburg Paradox.[1][2][4] Sebagai contoh, apakah kamu mau membayar 100 ribu untuk menebak bahwa sisi angka akan muncul pertama kali pada lemparan kedua? Atau apakah kamu bersedia membayar 250 ribu untuk menebak bahwa sisi angka akan muncul pertama kali pada lemparan kelima?

Jika kita telisik, semakin besar n semakin kecil peluang sisi angka untuk muncul pertama kali. Dan orang, termasuk kamu, mungkin semakin enggan untuk menebak sisi angka muncul pertama kali di lemparan dengan n semakin besar meskipun hadiahnya semakin besar. Yang jelas, kamu tahu bahwa peluang hal tersebut terjadi adalah kecil dan tidak sebanding dengan hadiah yang kamu dapatkan; meskipun nilai harapan di setiap lemparan adalah sama. 

 

Rasionalitas

Paradoks St Petersburg lebih lanjut menghipotesiskan bahwa individu tidak menilai suatu set opsi secara linier dan lebih mengukur nilai kemanfaatan (manfaat) dari masing-masing opsi. Dalam konteks pengambilan keputusan dalam kondisi berisiko (seperti pada contoh sebelumnya), individu umumnya cenderung menghindari opsi dengan risiko lebih besar (risk-averse).[3] Dengan kata lain pula, menebak sisi angka muncul pertama kali pada lemparan kelima memberikan manfaat lebih rendah daripada menebaknya pada lemparan kedua. Implikasi dari fenomena ini adalah seseorang, termasuk kamu, hanya mau membayar paling besar sesuai dengan nilai manfaat di masing-masing urutan lemparan. 

Temuan dari paradoks ini menjadi dasar konsep rasionalitas yang cukup populer, yaitu memaksimalkan harapan manfaat.[5] Prinsip utama dari konsep ini adalah individu mengukur manfaat opsi berdasarkan perilakunya menghadapi risiko/ketidaktentuan dan memilih opsi yang memberikan manfaat tertinggi. Oleh karena respon individu terhadap masing-masing eksposur risiko bisa jadi berbeda, maka fungsi manfaatnya bisa jadi tidak linier. Ini lah yang membuat harga lemparan kedua dan kelima (dari permainan koin) tidak linier. 

Apakah konsep rasionalitas ini terdengar masuk akal menurutmu? Apakah kamu juga punya cara rasionalitas serupa? Mungkin kamu bisa bilang “tidak”, dan selama itu masuk akal mengikuti logika, itu bisa jadi rasionalitas kamu dalam mengambil keputusan. Untuk mengetahuinya kita ambil contoh sederhana lain. Kita lakukan sekali lemparan koin dan dadu. Jika sisi angka koin muncul maka kamu akan dapat 100 ribu. Jika sisi nomor 2 dadu muncul maka kamu akan dapat 300 ribu. Jika kamu harus membayar 40 ribu untuk ikut permainan ini, mana yang kamu pilih? Permainan dadu atau permainan koin? Bagaimana caramu menentukan pilihan mengidentifikasikan rasionalitas kamu.

 

Referensi

[1] Bernoulli, D. 1954 (1738). Exposition of a New Theory on the Measurement of Risk. Econometrica 22: 23-36.

[2] Clark, M. 2002. “The St. Petersburg Paradox”, in Paradoxes from A to Z, London: Routledge, pp. 174-177.

[3] Hacking, I. (1980). Strange expectations. Philosophy of Science 47: 562-567.

[4] Martin, R. (2013). “The St. Petersburg Paradox”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy <https://stanford.library.sydney.edu.au/archives/win2013/entries/paradox-stpetersburg/>.

[5] Von Neumann, J., & Morgenstern, O. (1944). “Theory of Games and Economic Behavior.” Princeton, NJ, US: Princeton University Press.

Exit mobile version