Site icon SainsPop

Reinfeksi COVID-19, mungkinkah?

COVID-19 telah menginfeksi lebih dari 2.2 juta orang di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai lebih dari 150 ribu orang [1]. Angka yang sangat tinggi bila kita bandingkan dengan kasus SARS 2002/2003 (8096 kasus) dan MERS (2494 kasus). Namun, setidaknya saat ini jumlah kasus yang ada belum melampaui jumlah kasus Flu Spanyol yang diperkirakan telah menginfeksi 500 juta orang atau sekitar 1/3 populasi dunia di tahun 1918-1919. Namun, perlukah kita takut terhadap virus ini?

COVID-19 memiliki tingkat penyebaran yang jauh lebih tinggi dibandingkan penyakit yang disebabkan virus corona jenis lain. Oleh karena itu, pembatasan interaksi sosial secara masif sudah diterapkan hampir di seluruh negara terjangkit. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk menekan pertambahan kasus per harinya.

Di sisi lain, beberapa negara yang telah berhasil melewati puncak pertambahan kasus seperti China dan Korea masih memiliki pertambahan kasus setiap hari walaupun tidak banyak [2]. Bahkan, banyak informasi beredar yang menyatakan terjadinya re-infeksi pada penderita yang telah dinyatakan sembuh [3]. Sebenarnya, mungkinkah tubuh kita terinfeksi kembali oleh penyakit yang sama dalam waktu yang berdekatan?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita perlu pahami dulu bagaimana tubuh kita bertahan dari serangan patogen seperti virus dan bakteri.

Cara Tubuh Bertahan dari Serangan penyakit

Untuk setiap patogen yang masuk ke dalam tubuh, sistem imun kita akan merespon dengan dua mekanisme secara berurutan yaitu “innate response” atau sistem imun bawaan dan “adaptive response” atau sistem imun adaptif [4,5].

Pada masa inkubasi, sistem imun bawaan sebagai garis pertahanan pertama akan merespon aktivitas invasi jaringan dengan membunuh secara efektif virus yang merusak jaringan tersebut. Seiring dengan berjalannya aktivitas ini, sel imun juga memproduksi sitokin [5], yaitu suatu jenis hormon yang berfungsi memberikan sinyal kepada sel lain bahwa telah terjadi peradangan atau infeksi di suatu tempat.

Dari aktivitas sitokin ini akan muncul gejala demam tinggi dan nyeri tubuh. Namun jika sistem pertahanan tubuh terlalu lemah, replikasi virus akan terjadi secara tak terkendali dan merusak jaringan yang diinvasi secara masif [5].

Akibatnya, sitokin terus menerus diproduksi dan menyebabkan peradangan yang tak terkontrol atau dikenal sebagai “badai sitokin” hingga berujung pada kerusakan multiorgan[6]. Beberapa ilmuwan pun menyakini bahwa banyak kasus kematian akibat COVID-19 disebabkan oleh badai sitokin yang tidak tertangani [6].

Seiring dengan berjalannya aktivitas sistem imun bawaan, sistem pertahanan kedua yaitu respon adaptif akan diinduksi. Respon ini dilakukan oleh sel T dan sel B (jenis sel darah putih) yang diproduksi di sumsum tulang belakang [4].

Dalam hal virus corona, jenis sel T yang bertanggung jawab adalah CD4+ dan CD8+4.CD4+ akan meningkatkan aktivitas produksi antibodi penetralisir (IgG, IgM, IgA) oleh sel B sedangkan CD8+ akan bekerja menghancurkan virus [4]. Antibodi penetralisir bekerja membersihkan sisa-sisa virus dan aktivitasnya sambil menyimpan informasi infeksi virus yang telah terjadi agar tidak terjadi reinfeksi di kemudian hari. Kemampuan sel T dan sel B yang saling bekerja sama dalam menyimpan informasi inilah yang disebut sebagai memori kekebalan [7]. Dengan adanya memori ini, sistem pertahanan tubuh kita jauh lebih siap apabila terjadi serangan virus yang sama di kemudian hari.

Bagaimana antibodi penetralisir mengenali virus dengan memorinya?

Antibodi penetralisir akan mengenali bagian spesifik dari protein S Sars-Cov-2 yang menempel pada reseptor ACE-2 dari jaringan epitel saluran pernapasan atau yang disebut epitop [4]. Kemudian, bagian dari sel antibodi (paratrop) akan menempel pada sisi epitop tersebut sehingga memblokade interaksi antara protein S virus dan reseptor ACE2. Berkat informasi ini, seseorang yang pernah terinfeksi virus akan terlindungi dari re-infeksi dalam waktu yang relatif singkat. Vaksinasi dengan cara menyuntikkan antigen berupa virus yang telah dilemahkan atau bagian dari protein virus ke dalam tubuh seseorang adalah suatu upaya untuk menciptakan memori kekebalan.

Hingga saat ini, para saintis masih terus mempelajari seberapa lama antibodi penetralisir bertahan di tubuh seseorang. Berkaca pada kasus SARS 2002 misalnya, IgG (salah satu jenis antibodi penetralisir) hanya akan bertahan dalam waktu rata-rata 2 tahun [8].

IgG sendiri diketahui akan terus diproduksi tubuh setelah 12 hari pasca infeksi hari pertama hingga masa penyembuhan dengan level tertinggi akan dicapai dalam waktu 2-4 bulan setelah infeksi [8]. Studi lain di tahun 1990 pun menyatakan bahwa level IgG akan menurun drastis setelah satu tahun sehingga seseorang akan sangat mungkin terinfeksi virus yang sama [9].

Membiarkan Penyakit Menyebar Hingga Terbentuk Herd Immunity, Etis kah?

Selama vaksin belum ada, sistem pertahanan tubuh yang kuat akan terus menjadi benteng utama kita. Ketika sebagian besar orang dalam suatu populasi memiliki kekebalan terhadap suatu penyakit, maka saat itu telah terbentuk kekebalan kelompok (komunitas). Istilah ini dalam bahasa inggris dikenal sebagai herd immunity. Kekebalan kelompok ini terjadi ketika suatu penyakit dibiarkan menyebar dengan sendirinya sehingga hampir semua orang terinfeksi. Sampai akhirnya, ketika semua orang sudah kebal, maka penyakit ini pun akan hilang dengan sendirinya.

Secara tidak langsung, saat ini kekebalan kelompok dalam skala kecil terus berjalan. Akan tetapi, kita perlu hati-hati jika ingin melawan COVID-19 hanya dengan mengandalkan terbentuknya kekebalan kelompok. Para ahli pun tidak setuju apabila konsep tersebut dijadikan satu-satunya solusi tanpa dibarengi dengan pengembangan vaksin sesegera mungkin [10]. Mengapa?

Pada kasus COVID-19, diperlukan setidaknya 70% dari populasi suatu daerah/negara terinfeksi virus tersebut untuk tercapainya kekebalan kelompok [10]. Dalam skala satu negara, sebagai contoh Indonesia, maka setidaknya diperlukan 189 juta orang terinfeksi COVID-19 dari total penduduk 267 juta jiwa per 2019 [11], jumlah yang sungguh tidak masuk akal untuk dikorbankan. Mengapa? Artinya jutaan orang akan mati bergelimpangan karena angka kematian COVID-19 di Indonesia yang sangat tinggi (sebesar 9.4%), bahkan untuk di kawasan ASEAN sekalipun [12]. Dari sini maka ide tentang herd immunity merupakan ide yang kurang etis untuk diterapkan di negara kita.

Mengobati COVID-19 dengan Terapi Plasma, Bisakah?

Sambil menunggu vaksin, terapi plasma atau yang dikenal dengan convalescent plasma therapy digadang-gadang sebagai salah satu metode pengobatan COVID-19 yang potensial. Terapi ini dilakukan dengan mentransfusikan plasma darah COVID-19 survivor yang memiliki level antibodi penetralisir tinggi ke penderita lain [13].

Dari uji yang dilakukan terhadap 10 pasien COVID-19 bergejala berat, hasil menunjukkan adanya penurunan gejala klinis berat (seperti demam, batuk, nafas pendek, dan sakit dada) secara signifikan dalam waktu 1-3 hari pasca transfusi plasma [13]. Satu diantaranya bahkan menunjukkan proses pemulihan yang sangat cepat dalam waktu dua hari pasca transfusi hingga memberikan hasil negatif Sars-Cov-2.

Walaupun terapi plasma seperti menjanjikan, protokol yang ketat perlu diterapkan untuk menjamin aspek keamanan dan efektivitas dari terapi tersebut. Oleh karenanya, hingga saat ini, penelitian mengenai terapi ini terus dilakukandan dikembangkan untuk mencegah adanya efek negatif pasca terapi.

Jadi, Bisakah Seseorang Terinfeksi Kembali Oleh Covid-19 Dalam Waktu yang Berdekatan?

Seperti yang dilaporkan di Korea Selatan, terdapat 91 kasus positif baru yang berasal pada pasien yang telah dinyatakan negatif dan keluar dari rumah sakit [14]. Apakah reinfeksi memang terjadi? Belum ada jawaban pasti mengenai hal tersebut.

Namun, para ahli meyakini ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, hasil negatif palsu tes swab yang berasal dari pengambilan spesimen sampel lendir yang kurang cukup ataupun hasil positif palsu yang berasal dari spesimen yang mengandung virus tidak aktif [15]. Menurut Richard Condit, seorang ahli biologi molekular dari Universitas Florida Amerika, kekurangan dari tes swab dengan PCR sendiri adalah keterbatasan deteksi virus yang bertumpu hanya pada materi genetiknya saja, sedangkan melalui tes ini tidak bisa dibedakan mana virus yang aktif dan yang tidak [14].

Kemungkinan kedua, virus yang masih sedikit tersisa pada tubuh pasien yang telah dinyatakan sembuh kembali aktif. Hal ini bisa terjadi karena sistem imun seseorang masih terlalu lemah sehingga virus bisa memperbanyak diri kembali. Bila ini terjadi, biasanya gejala yang ditimbulkan jauh lebih ringan dan transmisi orang ke orang pun kemungkinan kecil terjadi [15].

Kemungkinan ketiga, pasien terinfeksi kembali oleh virus SARS-CoV-2 dengan tipe yang berbeda. Sars-CoV-2 tergolong sebagai virus RNA dimana kemampuan bermutasinya jauh lebih cepat dibandingkan virus DNA. Berdasarkan penelitian baru-baru ini, setidaknya ditemukan tiga tipe virus Sars-CoV-2 yang berbeda [16]. Karena itulah, ada kemungkinan mekanisme memori kekebalan tidak akan berjalan pada pasien yang sembuh dari virus pertama karena sistem imun tubuhnya tidak mampu mengenali tipe virus yang baru tersebut.

 

Referensi:
[1] www.worldmeters.info/coronavirus

[2] Eamon Barret, 2020, South Korea hopes its coronavirus epidemic has peaked—but there’s risk of a ‘second wave’ https://fortune.com/2020/03/11/coronavirus-south-korea-peak/

[3] Paula Hancocks, Yoonjung Seo and Julia Hollingsworth, 2020, Recovered coronavirus patients are testing positive again. Can you get reinfected? https://edition.cnn.com/2020/04/17/health/south-korea-coronavirus-retesting-positive-intl-hnk/index.html

[4] Guangyu Zhou and Qi Zhao, 2020, Perspectives on therapeutic neutralizing antibodies against the Novel Coronavirus SARS-CoV-2, International Journal of Biological Sciences, 16(10): 1718-1723, DOI: 10.7150/ijbs.45123

[5] Yufang Shi, Ying Wang, Changshun Shao, Jianan Huang, Jianhe Gan, Xiaoping Huang, Enrico Bucci, Mauro Piacentini, Giuseppe Ippolito, Gerry Melino, 2020, COVID-19 infection : the perspectives on immune response, Nature Cell Death and Differentiation, DOI:10.1038/s41418-020-0530-3

[6] Puja Mehta, Daniel F McAuley, Michael Brown, Emilie Sanchez, Rachel S Tattersall, Jessica J Manson, 2020, COVID-19: consider cytokine storm syndromes and immunosuppression, The Lancet, https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30628-0

[7] Kyla D.Omisulik and Ananda W.Goldrath, 2017, The origins of memory T cells, Nature 552, 337-339, DOI: 10.1038/d41586-017-08280-8

[8] Li-Ping Wu, Nai-Chang Wang, Yi-Hua Chang, Xiang-Yi Tian, Dan-Yu Na, Li-Yuan Zhang, Lei Zheng, Tao Lan, Lin-Fa Wang, Guo Dong Liang, 2007, Duration of antibody responses after severe acute respiratory syndrome, Emerging Infectious Disease, 13(10):1562-1564

[9] K.A. Callow, H. F. Parry, M. Sergeant and D.A.J. Tyrell, 1990, The time course of the immune response to experimental coronavirus infection of man, Epidemiology Infection, 105, 435-446

[10] Gideon Meyerowitz-Katz, 2020, Here’s why herd immunity won’t save us from the covid-19 pandemic www.sciencealert.com/why-herd-immunity-will-not-save-us-from-the-covid-19-pandemic

[11] Viva Budy Kusnandar, 2020, Jumlah Penduduk Indonesia 269 Juta Jiwa, Terbesar Keempat di Dunia

[12] Ayla Nurbaiti, 2020, COVID-19: Indonesia records 60 deaths in single day https://www.thejakartapost.com/news/2020/04/14/covid-19-indonesia-records-60-deaths-in-single-day.html

[13] Kai Duan et al., 2020, Effectiveness of convalescent plasma theraphy in severe COVID-19 patients, Proceeding of the National Academy of Sciences of the United States of America, DOI:10.1073/pnas.2004168117

[14] Kristen V. Brown, 2020, Coronavirus Survivors Hope for Immunity-The Reality is More Complicated www.bloomberg.com/amp/news/articles/2020-04-14/do-coronavirus-survivors-have-immunity-from-reinfection-maybe

[15] Alessandra Osola, 2020, Why some Covid-19 patients might have tested positive twice https://qz.com/1837798/why-some-covid-19-patients-might-have-tested-positive-twice/

[16] Peter Forstera, Lucy Forsterd, Colin Renfrewb, and Michael Forsterc, 2020, Phylogenetic network analysis of SARS-CoV-2 genomes, PNAS, DOI:10.1073/pnas.2004999117

 

Exit mobile version