Mungkin tak ada yang lebih diharap-harap umat manusia hari ini selain vaksin COVID-19. Banyak media massa memuat berita riset vaksin seperti kategori stop press, seolah-olah kalau hari ini ada uji klinis, maka bulan depan vaksin itu sudah tersedia. Padahal pengembangan vaksin pada umumnya membutuhkan waktu sekitar 10 tahun. Vaksin Ebola yang risetnya dipercepat saja masih membutuhkan waktu 5 tahun. Kali ini memang kondisinya sangat mendesak tapi para ilmuwan cuma berani menjanjikan waktu 1-1,5 tahun. Andai kata prosedurnya dipangkas habis-habisan karena kondisi darurat, vaksin paling cepat akan tersedia di akhir tahun.(1)
Berbeda dari obat antivirus, vaksin tidak membunuh virus secara langsung tapi merangsang kekebalan tubuh. Vaksin bisa berupa virus yang sudah dilemahkan atau komponen/protein pembentuk virus yang bisa merangsang pembentukan respon imun ketika dimasukan ke dalam tubuh. Protein ini dibuat berdasarkan struktur virus yang sudah diketahui. Ketika protein ini disuntikkan, tubuh menyangka benda itu sebagai virus berbahaya lalu memproduksi antibodi (zat kekebalan) untuk melawannya. Begitu tubuh terinfeksi oleh virus sungguhan, antibodi tadi bisa membunuhnya.
Hingga awal April, sudah ada 50-an prototipe vaksin COVID-19 yang sedang menjalani uji klinis.(2) Tapi berita-berita uji klinis ini baru fase I yang melibatkan beberapa puluh orang untuk mengamati keamanan dan efeknya terhadap tubuh. Kalau fase I ini selesai, masih ada fase II yang melibatkan beberapa ratus orang untuk menguji efektivitasnya pada populasi yang berisiko kena COVID-19. Setelah itu masih ada lagi fase III yang melibatkan ribuan orang untuk memastikan lagi keamanan dan efektivitasnya di populasi yang sebenarnya.(3)
Jika semua fase ini hasilnya sesuai harapan, barulah vaksin ini tersedia. Itu pun masih disertai pengamatan di fase IV sebab vaksin yang sudah beredar pun bisa jadi ternyata punya efek buruk yang belum diketahui. Sebagai contoh, Dengvaxia, vaksin demam berdarah dengue (DBD) buatan Sanofi Pasteur, Prancis, ternyata diketahui menyebabkan sakit mirip DBD pada anak yang belum pernah menderita sakit ini. Efek tersebut baru diketahui dari program imunisasi massal buat siswa sekolah dasar di Filipina tahun 2017 lalu padahal vaksin ini sudah lulus fase I sampai III.(4,5) Jadi, perjalanan vaksin COVID-19 masih panjang sementara penyebaran wabah ini begitu cepat.
Salah satu faktor yang bisa menghambat riset vaksin adalah sifat mutasi (perubahan struktur) virus. Kalau virusnya mudah bermutasi, pengembangan vaksin lebih repot karena vaksin dibuat berdasarkan struktur virus yang diidentifikasi oleh ilmuwan Cina pada bulan Januari lalu. Kalau ternyata beberapa bulan kemudian struktur virus itu berubah drastis, maka vaksin tadi tidak lagi efektif. Kabar baiknya, virus SARS CoV-2 termasuk golongan virus korona yang tidak cepat bermutasi.(6) Tapi karena virus ini masih terhitung baru, ilmuwan belum memiliki banyak data. Semua kemungkinan bisa terjadi.
Secara teoretis, seseorang yang sembuh dari COVID-19 harusnya memiliki kekebalan. Tapi beberapa laporan menunjukkan adanya pasien sembuh yang kembali positif lagi.(7, 8) Para peneliti belum menemukan jawaban jelas dari kasus ini karena minimnya data. Salah satu kemungkinannya, pada sebagian orang infeksi ternyata tidak membuat mereka memiliki kekebalan. Dengan logika yang sama, kalau mereka disuntik vaksin, tubuh mereka tidak menghasilkan kekebalan. Ini tentu tantangan serius riset vaksin.
Hingga sekarang belum ada tanda-tanda kapan wabah akan berhenti. Banyak ahli memperkirakan wabah ini akan berlangsung lama. Peneliti di Harvard School of Public Health bahkan memprediksi upaya pembatasan sosial mungkin masih perlu dilakukan sampai tahun 2022 kalau vaksin tidak ditemukan.(9) Walaupun asumsi penelitian ini dikritik karena mengabaikan banyak faktor,(10) ada satu pelajaran yang patut disepakati, yaitu bahwa sigap dengan kemungkinan terburuk lebih baik daripada sikap meremehkan. Jadi mari kita asumsikan saja wabah ini akan berlangsung lebih lama dari prediksi yang bilang wabah COVID-19 di Indonesia akan mulai mereda di bulan Mei-Juni.(11)
Tanpa vaksin, kita hanya bisa berharap pada faktor alam dan kedisiplinan kita sendiri. Sebagian peneliti menduga wabah ini mungkin akan mereda di musim panas.(9) Prediksi ini didasarkan pada kemiripan sifat virus penyebab COVID-19 dengan sesama virus korona yang wabahnya sama-sama mereda di musim panas.(12, 13)
Tapi mengingat sifat penularan SARS CoV-2 yang sangat mudah terjadi di dalam ruangan, prediksi ini bisa saja meleset sebab itu berarti faktor musim kurang penting. Jika itu yang terjadi, kita mungkin harus menunggu lebih lama untuk bisa bernapas lega. Maka paling aman, mari kita anggap pembatasan sosial ini ibarat lari maraton. Jangan sampai kita kehabisan napas di tengah jalan. Garis finish masih jauh. Jangan mudah gembira kalau membaca berita terkait upaya penyelesaian pandemi ini. Itu kegembiraaan yang menipu. Jangan sampai ini mengalihkan perhatian kita dari upaya pembatasan sosial.
Biarkan para ilmuwan bekerja. Kita boleh menunggu, tapi jangan menunggu-nunggu. Sembari mereka bekerja, kita lakukan apa yang bisa kita lakukan. Patuh aturan, ikuti pembatasan sosial, pakai masker, rajin cuci tangan, dan siap beradaptasi (terutama secara mental) jika wabah ini berlangsung lama dan mengubah cara kita bekerja, berinteraksi sosial, belajar, dan beribadah.
dan dapatkan konten-konten menarik tentang sains dan teknologi langsung di inbox email kamu
1 Comment
[…] Tapi gelar yang disandangkan terlalu dini justru bisa menipu. Apalagi jumhur ilmuwan memprediksi, wabah ini masih akan berlangsung lama, setidaknya sampai vaksin diproduksi massal. Paling cepat tahun […]