Site icon SainsPop

Bagaimana Sistem Saraf Kita Bekerja?

Siapa yang sudah mengenal sistem saraf? Coba simak contoh berikut:

Pernahkah kamu berpikir bagaimana jantung kita bergerak terus menerus tanpa pernah berhenti? Atau, pernahkah terpikir bagaimana tangan kita bisa bergerak begitu cepat saat menyentuh benda panas? Dan, bagaimana bisa kita secara tak sadar bernafas terus menerus bahkan ketika kita tidur?

Nah, ternyata di dalam tubuh kita, Tuhan sudah mengaruniakan satu sistem yang memiliki peranan yang begitu penting dalam mengkoordinasikan dan meregulasi semua proses dan komunikasi di setiap sel di dalam tubuh, yaitu sistem saraf. 

Jika DNA di dalam tubuh berperan dalam menentukan warna mata atau warna kulit kamu, sistem saraf lah yang mengatur agar tubuh kita berfungsi sebagaimana mestinya dan beradaptasi dengan perubahan yang ada.

Tubuh kita tidak akan dapat berfungsi dengan baik tanpa adanya sistem yang mengatur hal tersebut. Bahkan, bisa dikatakan, sistem ini merupakan sistem yang paling penting di dalam tubuh kita.

Mari Mengenal Lebih Mendalam

Sistem saraf merupakan suatu sistem kompleks yang bekerjasama dengan sistem endokrin (sistem kelenjar yang menghasilkan hormon) untuk mengontrol dan mengkoordinasikan aktivitas dan fungsi tubuh secara internal dan eksternal dengan mengirimkan, menerima, dan menyortir sinyal yang berupa impuls listrik [1].

Secara anatomi, sistem ini bekerja pada tubuh kita terdiri dari sistem saraf pusat (CNS, Central Nervous System) dan tepi (PNS, Peripheral Nervous System)[1]

Organ-organ yang mendukung sistem saraf pusat adalah otak dan sumsum tulang belakang. Karena memiliki fungsi yang begitu penting, keduanya dilindungi oleh kerangka tulang (tengkorak dan tulang belakang) [1]

Sedangkan, sistem saraf tepi terdiri dari semua jaringan serat di luar sistem saraf pusat. Serat saraf pada sistem saraf tepi berasal dari otak dan sumsum tulang belakang yang berfungsi untuk membawa informasi antar sistem saraf pusat dan seluruh tubuh [1]

Mengenal Sistem Saraf Tepi

Sistem ini tersusun dari semua saraf yang memanjang dari otak dan sumsum tulang belakang. Sebagian saraf tepi ada yang langsung terhubung ke otak (saraf kranial) dan yang lainnya terhubung ke sumsum tulang belakang (saraf spinal atau saraf tulang belakang) [1]

Berdasarkan fungsinya, sistem ini dibagi menjadi dua bagian besar yaitu sistem sensorik (aferen) dan sistem motorik (eferen). Sistem sensorik berperan untuk membawa informasi dari bagian lain tubuh ke sistem saraf pusat, sedangkan sistem motorik berperan dalam membawa informasi dari pusat ke bagian lain tubuh [2]

Pada sistem saraf tepi, sebagian saraf kranial merupakan serat sensorik dan sebagian merupakan serat sensorik dan motorik. Saraf kranial umumnya menghubungkan banyak aspek seperti sensasi dan aktivitas otot di sekitar kepala dan leher [1]

Berbeda dengan saraf kranial, saraf sumsum tulang belakang terhubung dan mentransmisikan informasi langsung dari sumsum tulang belakang. Masing-masing sarafnya akan menjalar ke bagian spesifik pada tubuh [1]

Bagaimana Cara Kerjanya?

Jika dianalogikan, sistem saraf pusat merupakan cpu komputer  yang berperan menampung informasi dan mengolahnya dengan cara menginterpretasikan apa yang harus dilakukan terhadap informasi tersebut. Sedangkan, sistem saraf tepi merupakan jaringan kabel yang saling berkaitan satu sama lain untuk menyalurkan informasi dari bagian komputer yang lain ke cpu ataupun sebaliknya.

Berdasarkan fungsinya, sistem ini  diklasifikasikan menjadi 3 area yang bertanggung jawab dalam menjalankan 3 tiga fungsi utamanya, yaitu area sensasi sebagai fungsi sensori, area integrasi, dan area respon sebagai fungsi motorik [3]

Area sensasi dan area respon merupakan bagian dari kerja sistem saraf tepi, sedangkan area integrasi merupakan bagian dari sistem saraf pusat. Adapun ketiga area tersebut akan berhubungan satu sama lain sehingga tubuh memberikan respon yang sesuai untuk menanggapi stimulus yang terdeteksi [3]. Bagaimanakah prosesnya? 

  1. Area Sensasi (fungsi sensori)

Saat terjadi perubahan dari dalam tubuh (perubahan kondisi homeostatis tubuh) maupun dari luar tubuh, perubahan tersebut akan dideteksi oleh sel reseptor (bagian dari saraf tepi) sebagai stimulus [3].  

Tubuh kita memiliki banyak jenis reseptor untuk mendeteksi beragam jenis stimulus yang diterima. Contohnya ketika kita mencium bau masakan yang enak. Molekul-molekul bau itu akan diterima oleh sensor-sensor yang ada di hidung dan menstimulasi respon sensor [4]. Stimulus yang terdeteksi ini akan  diteruskan oleh sistem sensorik (aferen) ke  saraf pusat untuk diolah[3].

  1. Area Integrasi

Di bagian pusat, informasi yang didapatkan dari sistem aferen akan diintegrasikan  dengan mengkombinasikan persepsi sensori dengan fungsi kognitif seperti memori, berpikir, dan emosi. Dengan demikian, sistem saraf pusat akan memberikan perintah kepada organ tertentu (efektor) untuk memberikan respon yang spesifik[3]

Contohnya, ketika molekul bau tadi sudah disampaikan ke otak, di sana informasi bau ini diolah dan disimpulkan kalau itu adalah bau masakan enak. Untuk selanjutnya, otak akan memerintahkan organ-organ tubuh untuk merespon apa yang harus dilakukan dengan informasi bau makanan enak tadi[3].

  1. Area Respon (fungsi motorik)

Respon terhadap informasi (stimulus) yang didapatkan dari  saraf pusat disalurkan melalui sistem motorik (eferen) untuk disampaikan ke efektor. Baik eferen atau pun efektor, keduanya merupakan bagian dari  saraf tepi[3]

Adanya sinyal yang diteruskan dapat menyebabkan kontraksi dari ketiga jenis jaringan otot yang dimiliki oleh manusia. Sebagai contoh, otot rangka berkontraksi untuk menggerakkan rangka tubuh saat kita bergerak, otot kardiak berkontraksi untuk  meningkatkan detak jantung saat kita berolahraga, atau otot halus berkontraksi ketika sistem pencernaan menggerakan makanan di sepanjang saluran pencernaan [3].

 Tak hanya itu saja, bahkan sistem saraf dapat memberikan perintah untuk meningkatkan atau menghambat produksi enzim tertentu di dalam tubuh. Untuk kasus bau makanan tadi, otak memerintahkan kelenjar saliva untuk mengeluarkan air liur yang banyak dan “menyuruh” tangan untuk memgambil makanan tadi [4].

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semua gerakan sadar dan tak sadar di tubuh kita, sistem saraf lah yang mengaturnya [3]. Lalu, pertanyaannya bagaimanakah caranya?

Bagaimana Tubuh Mengontrol Dirinya Sendiri?

 

Seperti yang sudah kita ketahui, sistem saraf yang kita miliki dapat mengontrol tubuh kita baik secara sadar ataupun tidak sadar [3]

Sistem ini yang bertanggung jawab dalam mengontrol fungsi tubuh secara sadar disebut sistem saraf somatik. Sedangkan, saraf yang berperan pada kerja tidak sadar disebut saraf otonom[1].

Bentuk kerja saraf somatik adalah pergerakan otot di ekstremitas; menyampaikan informasi dari kulit, organ indera, dan otot ke  saraf pusat, serta membawa respon balik ke otot rangka untuk memberikan respon yang bersifat sukarela, meskipun beberapa respon bisa saja bersifat refleks [1,3]. Dengan kata lain, saraf somatik bertanggung jawab dalam respon di otot rangka [3].

Saraf otonom umumnya bekerja pada organ-organ vital seperti jantung dan paru-paru. Kerja utamanya adalah untuk mengkoordinasi aktivitas organ internal, sehingga organ-organ tersebut dapat beradaptasi terhadap perubahan eksternal[1]. Sistem saraf ini bekerja pada otot halus, otot kardiak, dan kelenjar[3]

Dengan kata lain, saraf otonom bekerja untuk mengontrol proses di tubuh kita tanpa perlu kita pikirkan terlebih dahulu agar ia dapat bekerja sesuai fungsinya. Artinya,  saraf otonom ini bekerja secara otomatis, seperti halnya ketika kita bernafas, mencerna makanan, berkeringat, atau menggigil[3]

Nah saraf otonom ini, terbagi menjadi dua subsistem yaitu sistem saraf simpatik dan parasimpatik. Kedua sistem tersebut bekerja sama untuk mengontrol organ internal dan fungsinya. Kerja dari keduanya dapat dipengaruhi oleh hormon dan emosi[1]. 

Sistem saraf simpatik akan aktif ketika terjadi stress dan dalam keadaan darurat. Ia berfungsi untuk mempersiapkan seseorang merespons sesuatu untuk mempersiapkan tubuh saat menghadapi stress secara tiba-tiba[3]. Sistem ini sering disebut sebagai respon bertarung atau melarikan diri (“fight or flight response”)[1].

Berbeda dengan saraf simpatik, saraf parasimpatik mendominasi ketika tubuh sedang beristirahat dan berperan dalam proses pencernaan sehingga tubuh dapat menyerap nutrisi secara efisien dari makanan yang kita makan[1,3]. Tidak hanya itu, saraf parasimpatik juga berperan penting dalam mengatur gairah seksual baik pada laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, sistem saraf ini sering disebut sebagai respon istirahat atau mencerna (“rest or digest” response)[3].

Secara umum, kerja dari saraf simpatik dan parasimpatik ini saling berlawanan satu sama lain. Artinya, ketika salah satu sistem teraktivasi, maka sistem yang lain akan mengalami deaktivasi[3].

Sebagai contoh, saat kita merasakan ketakutan, banyak dari efektor organ yang teraktivasi secara bersamaan dengan tujuan yang sama. Kebutuhan akan oksigen yang dibutuhkan oleh otot membuat sistem ini mengaktivasi sistem pernafasan, kardiovaskuler, dan sistem gerak secara bersamaan[3]

Dengan demikian, kita akan mengambil napas secara dalam karena membutuhkan oksigen lebih banyak untuk ditransfer ke otot. Kerja jantung pun akan menjadi lebih cepat sehingga dapat mengalirkan darah lebih cepat ke bagian tubuh yang diperlukan. Selain itu, pupil mata membesar dan produksi hormon stress pun meningkat[3].

Di sisi lain, tubuh akan mendeaktivasi sistem pencernaan dalam menyerap nutrisi makanan karena tubuh memprioritaskan darah untuk mentransfer lebih banyak oksigen ke otot. Adanya peningkatan detak jantung pun, membuat kelenjar adrenal mensekresikan hormon adrenalin yang dapat menstimulasi otot untuk bergerak lebih cepat [3]

Setelah mengetahui fungsi dari masing-masing saraf, maka penting sekali kita menjaga tubuh agar tetap sehat. Pola makan serta gaya hidup dapat mempengaruhi kerja hormon dan emosi yang dapat mempengaruhi kerja sistem saraf. Apabila kerja sistem ini terganggu, maka tubuh akan sulit merespon dan bekerja secara baik seperti seharusnya.

Referensi:

[1] E. R. Kandel, J. H. (James H. Schwartz, and T. M. Jessell, Principles of neural science. New York : McGraw-Hill, Health Professions Division, 2000.

[2] Gray’s anatomy : the anatomical basis of clinical practice. Edinburgh ; New York : Elsevier Churchill Livingstone, 2005.

[3] L. M. Biga et al., “12.1 Structure and Function of the Nervous System,” in Anatomy & Physiology, OpenStax/Oregon State University, 2019.

[4] D. Zocchi, G. Wennemuth, and Y. Oka, “The cellular mechanism for water detection in the mammalian taste system,” Nat. Neurosci., vol. 20, no. 7, pp. 927–933, Jul. 2017, doi: 10.1038/nn.4575.

Exit mobile version