Site icon SainsPop

Gerak Refleks : Fitur Keamanan di Dalam Tubuh Kita

Seperti yang kita ketahui, tubuh kita selalu berusaha menjaga kondisinya dalam keadaan seimbang atau sering disebut kondisi homeostasis. Ketika terjadi perubahan lingkungan (stimulus) baik di dalam maupun di luar tubuh, tubuh kita akan memberikan respon untuk mempertahankan kondisi homeostasisnya tersebut. 

Contohnya, saat tanganmu menyentuh benda tajam atau panas, apa yang akan kamu lakukan? Tentu saja, secara otomatis tanganmu akan bergerak menjauhi benda tersebut. Reaksi ini terjadi secara spontan dan terjadi dalam rentang waktu yang sangat cepat. Artinya, respon yang kamu berikan terjadi begitu saja, tanpa kamu memiliki kesempatan untuk berpikir terlebih dahulu. Respon inilah yang sering kita sebut sebagai gerak refleks [1].

Gerak refleks terjadi dalam berbagai bentuk aksi. Contohnya, saat kita bersin akibat masuknya debu ke dalam saluran pernafasan atau mengecilnya pupil saat mata kita disorot oleh sinar kuat. Bahkan, gerak refleks pun bisa terjadi pada otot kita sebagai respon terhadap cara duduk kita yang salah. Akibatnya, otot kita pun terus mengatur kembali bentuknya untuk mempertahankan postur kita di posisi yang seharusnya. 

Jadi, saat kamu membaca artikel ini pun, tanpa kamu sadari, gerakan refleks itu terjadi secara natural di dalam tubuhmu. Dengan kata lain, gerak refleks ini merupakan fitur keamanan yang dimiliki oleh tubuh kita [2]. Ia bekerja untuk menanggapi adanya perubahan lingkungan yang dapat menyebabkan kerusakan pada tubuh kita. 

Maka, tak heran jika kebanyakan dari gerak refleks bekerja tanpa melibatkan otak dalam memberikan perintah sebagai respon terhadap stimulus yang diterima. Kenapa? Karena tubuh kita memerlukan aksi yang sangat cepat untuk menghindari tubuh dari kerusakan yang sangat parah. Bahkan, beberapa gerak refleks bisa terjadi lebih cepat dari kedipan mata kita. 

Lalu pertanyaannya, bagaimana proses terjadinya gerak refleks ini? 

Secara keseluruhan, mekanisme terjadinya gerak refleks sebenarnya tidak jauh berbeda dengan mekanisme saat tubuh memproses stimulus lain pada umumnya. Kamu bisa baca bagaimana sistem saraf bekerja disini. Secara umum, setiap respon di dalam tubuh (baik berupa gerakan pada jaringan otot ataupun produksi hormon) melibatkan 5 komponen utama, yaitu reseptor organ, sistem sensori (sensori neuron), sistem saraf pusat, sistem motorik (motor neuron), dan efektor organ.

Aktivitas-aktivitas sadar di keseharian kita (belajar, memotong rambut, memasak, dll), merupakan hasil dari integrasi yang sangat kompleks di dalam otak. Sedangkan pada gerak refleks, pusat koordinasinya adalah sumsum tulang belakang, bukanlah otak. Inilah yang menyebabkan tubuh bergerak sangat cepat (tidak membutuhkan waktu yang lama) dalam merespon stimulus pada gerak refleks.

Mekanisme Jalur Gerak Refleks (Reflex Arc)

Pada saat tangan kita memegang benda panas, sel-sel reseptor di permukaan kulit mendeteksi adanya perubahan suhu yang diterjemahkan sebagai stimulus. Stimulus tersebut diterima sebagai sinyal listrik oleh saraf sensorik. Kemudian, saraf sensorik akan mentransmisikan sinyal listrik ke sistem saraf pusat, baik itu sumsum tulang belakang ataupun otak [1]

Melalui saraf penghubung (relay/associated neuron) yang berada di sumsum tulang belakang, respon terhadap stimulus yang didapatkan langsung ditransfer ke saraf motorik tanpa menunggu hasil pemrosesan di dalam otak [1]. Sinyal respon tersebut dibawa oleh saraf motorik menuju efektor organ. Pada kasus ini, efektor organ berupa jaringan otot yang sama sehingga otot tersebut bergerak cepat menjauhi benda panas yang kita sentuh. Setelah gerak refleks ini dilakukan, barulah otak berperan memberikan respon selanjutnya. Misalnya, kita akan mencari alas untuk mengangkat panci yang panas tersebut.

Jalur gerak refleks inilah yang dinamakan sebagai lengkung refleks (reflex arc). Ini merupakan salah satu contoh gerak refleks yang sederhana [3]. Faktanya, di dalam tubuh kita terdapat berbagai macam jenis gerak refleks dengan tingkat komplikasi yang beragam, baik tanpa melibatkan saraf penghubung (disebut gerak refleks monosinaptik) ataupun dengan melibatkan lebih dari satu saraf penghubung dan terjadi lebih banyak sinapsis pada prosesnya (disebut gerak refleks polisinaptik). 

 

Referensi:

[1] “When Kicking the Doctor Is Good—A Simple Reflex,” Frontiers for Young Minds. https://kids.frontiersin.org/article/10.3389/frym.2017.00010 (accessed Jul. 25, 2020).

[2] M. J. L. Perenboom, M. Van de Ruit, J. H. De Groot, A. C. Schouten, and C. G. M. Meskers, “Evidence for sustained cortical involvement in peripheral stretch reflex during the full long latency reflex period,” Neurosci. Lett., vol. 584, pp. 214–218, Jan. 2015, doi: 10.1016/j.neulet.2014.10.034.

[3] H.-H. Chen, S. Hippenmeyer, S. Arber, and E. Frank, “Development of the monosynaptic stretch reflex circuit,” Curr. Opin. Neurobiol., vol. 13, no. 1, pp. 96–102, Feb. 2003, doi: 10.1016/s0959-4388(03)00006-0.

Exit mobile version