Site icon SainsPop

Bukan Pungguk Merindukan Bulan Tapi Si Pungguk ‘Karya Anak Bangsa’

burung hantu ninox burhani

Sumber gambar: Bulletin of the British Ornithologists' Club

Halo sobat sains! Jika sobat merupakan penggemar film Harry Potter, sobat pasti pernah dengar tentang Hedwig, Si Burung Hantu kan? Tapi tahukah sobat kalau karakter Hedwig di film ini ternyata memicu peningkatan perdagangan burung hantu liar di pasar burung Jawa-Bali untuk burung peliharaan [1]. Tentu ini berdampak negatif terhadap kelestarian burung hantu di Indonesia. Padahal, burung hantu berperan penting sebagai burung pemangsa, misalnya sebagai sahabat petani dalam mengendalikan hama tikus dan menjaga pasokan pangan. Terlepas dari berita sedih di atas. Sobat sains tentunya dapat membantu kelestarian burung hantu dengan terlebih dulu berkenalan dengan mereka.

Indonesia ternyata kaya dengan spesies burung hantu, loh! Uniknya, mereka memiliki nama-nama lokal mereka masing-masing! Ada 45 spesies burung hantu di Indonesia yang terbagi ke dua suku yaitu Tytonidae dan Strigidae [2]. Suku Tytonidae memiliki ciri khas wajah berbentuk hati serta memiliki pekikan suara parau sehingga dikenal dengan sebutan ‘Serak’ [3]. Sedangkan, Suku Strigidae sebagai kelompok burung hantu asli secara bentuk mirip Serak namun kaki lebih pendek dan piringan muka yang lebih kecil [3]. Suku Strigidae memiliki banyak anggota jenis mulai dari berukuran kecil seperti Celepuk (Otus spp.) dan Beluk Watu (Glaucidium spp.), sampai berukuran besar seperti Beluk (Bubo spp.) dan Kukuk (Strix spp.). Ada juga burung hantu dari suku ini yang berukuran sedang tapi lebih terkenal lewat peribahasa, Pungguk (Ninox spp)—seperti pungguk merindukan bulan.

Sumber gambar: MacKinnon et al. (2010)

Burung Hantu ‘Karya Anak Bangsa

Burung hantu dari Togian atau Pungguk Togian (Ninox burhani) mungkin tak sepopuler Beluk Jampuk (Bubo sumatranus) yang mirip Hedwig si Burung hantu Salju (Bubo scandiacus). Selain hanya ditemukan di kepulauan Togian tepatnya pulau Malenge, Togian dan Batudaka, populasinya juga kecil hanya kisaran 2,500-9,999 individu [4]. Walaupun kurang terkenal, jenis burung hantu ini menjadi kebanggaan ornitolog Indonesia. Kok bisa?

Pungguk Togian menjadi burung pertama yang pengarang nama ilmiahnya (author) adalah orang Indonesia semua. Nama Ninox burhani dikarang oleh Muhammad Indrawan dan Soemadikarta, peneliti burung LIPI, dipersembahkan untuk penduduk lokal Desa Benteng bernama Burhan [5]. Berkat informasi dan bantuan dari Burhan, Iling Taskir, Nasution dan penduduk lokal lain dalam penelitian sehingga bisa ditemukan sebagai jenis baru. Tentu ini sangat membanggakan untuk perkembangan ornitologi di Indonesia. Pasalnya, hampir seluruh nama ilmiah burung Indonesia dikarang oleh ornitolog barat. Melihat proses mulai dari penelitian, koleksi spesimen, pembuatan taksidermi sampai keterlibatan penduduk lokal kesemuanya dilakukan orang Indonesia sendiri, bisa dikatakan burung hantu ini adalah ‘karya anak bangsa’.

Burung hantu ini berukuran sedang dengan panjang tubuh sekitar 29 cm [6]. Warna tubuh dominan cokelat pada dahi, mahkota dan punggung [5]. Dada dan perut berwarna keputihan dengan coret-coretan kecoklatan [5]. Warna iris sangat mencolok berwarna kuning [5]. Suara burung ini dapat didengar seperti bunyi “KOK-KO-RO-OK!”.

Pungguk Togian termasuk burung hantu yang bergantung terhadap hutan. Habitatnya bisa ditemukan di hutan dataran rendah maupun bukit, ladang, dan sagu dengan ketinggian 400 m dpl. Lebih sering ditemukan di hutan dibandingkan dengan ladang dan pemukiman. Suka bertengger di kanopi lebat di vegetasi dengan kerapatan pohon lebat, penuh tanaman merambat atau rerumpun bambu. Ancaman utama burung ini adalah kehilangan habitat seiring dengan alih fungsi lahan di kepulauan Togian [5] dan tentunya perdagangan satwa liar [1]..

Referensi

Exit mobile version