Sebagian besar sistem off-grid dan hybrid sel surya diaplikasikan di daerah yang sukar dijangkau jaringan listrik. Keunggulan sistem ini adalah adanya media penyimpanan energi yang cukup mudah dioperasikan di berbagai kondisi dan waktu. Salah satu tipe media penyimpanan yang sering digunakan adalah baterai sekunder ion litium. Seiring berjalannya waktu, banyak sekali terobosan-terobosan terbaru di bidang media penyimpanan energi ini, diantaranya:
Media penyimpanan ini adalah integrasi dari sel fotoelektrokimia dengan sel elektrokimia. Sel fotoelektrokimia adalah sel yang memanfaatkan energi matahari untuk menghasilkan energi listrik melalui pemecahan air menjadi hidrogen dan oksigen. Di sisi lain, sel elektrokimia akan mengubah energi kimia menjadi energi listrik dengan reaksi reduksi dan oksidasi pada elektrode penyusunnya[1]. Ide tentang solar water battery ini sudah dicetuskan sejak tahun 1970-an, diantaranya adalah penelitian Hodes et al.[2]. Pada tahun 2016, Kim et al.,[3] melakukan penelitian di bidang solar water battery menggunakan 3 buah elektrode yaitu TiO2 (Photon electrode), WO3 (Storage electrode), dan Pt (Counter Electrode) dengan dua sistem. Hasil penelitian tersebut menunjukkan solar water battery memiliki stabilitas yang baik dengan voltase kerja di 0.6 V. Selain itu, baterai mampu mempertahankan energi yang tersimpan dengan baik dan memiliki siklus pengisian dan pemakaian baterai yang efisien. Lebih jauh lagi, material elektrode pada baterai tersebut mampu mendegradasi polutan organik yang sukar terurai (non-biodegradable) dan molekul reaktif yang mengandung oksigen (ROS).
Batu bata umumnya digunakan sebagai bahan bangunan pembuat dinding. Di tahun 2020 ini, Wang et al.,[4] mengeksplorasi lanjut fungsi batu bata sebagai media penyimpan energi, yaitu sebagai superkapasitor. Batu bata merah yang mengandung hematit ini selanjutnya di lapisi polimer PEDOT nanofibrillar. Kapasitansi yang dihasilkan sebesar 1.59F serta mampu menyalakan LED selama 11 menit.
Walaupun baterai sekunder banyak diaplikasikan sebagai media penyimpan energi, namun baterai jenis ini memiliki kekurangan dalam spontanitas pengisian daya di suhu ruang. Oleh karena itu, Wang et al.,[5] mencoba untuk mengatasi kekurangan ini dengan memperpadukan baterai sekunder dengan kaca elektrokromik[6]. Material yang digunakan adalah Prussian Blue (PB, berwarna biru) yang dapat berubah warna menjadi Prussian White (PW, tidak berwarna) jika terkena agen pereduksi, seperti Alumunium. PW ini kemudian dapat berubah kembali menjadi PB secara otomatis dengan dua cara. Cara pertama dengan melepaskan sambungan alumunium dalam elektrode PB, dan cara kedua dengan melarutkan oksigen dalam pelarut. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diketahui hasil modulasi optis mencapai 52.2% pada 670 nm, dan baterai tersebut memiliki voltase pada rentang 0.8 – 2.1 V dengan kapasitas pemakaian dan pengisian sebesar 72.2 mAh/g dan 72.1 mAh/g.
Baterai proton adalah sebutan untuk baterai sekunder yang tersusun atas material-material organik. Baterai sekunder dengan material organik lebih sukar disintesis dibandingkan baterai sekunder dengan material anorganik. Strietzel et al.,[7] melakukan penelitian mengenai baterai proton menggunakan material kuinon[8] dan turunannya sebagai elektrode baterai. Hasil penelitian tersebut menunjukkan baterai dapat diisi tidak hanya dengan arus yang konstan (Constant Current, CC) secara galvanostatik, tetapi juga dapat diisi dengan voltase yang konstan (Constant Voltage, CV) dalam waktu yang singkat. Lebih jauh lagi, pengisian dengan CV ini memungkinkan integrasi langsung antara sel surya dengan baterai tanpa tambahan perangkat elektronik untuk mengontrol arus.
dan dapatkan konten-konten menarik tentang sains dan teknologi langsung di inbox email kamu