Site icon SainsPop

Kebiri kimia itu apa sih?

top closer view fresh yellow bananas sliced and whole on the grey background fresh fruit berry color

Kebiri kimia adalah salah satu topik yang sedang hangat dibicarakan akhir-akhir ini. Hal ini karena beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak. Ini merupakan aturan turunan dari Undang- Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor  1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak. Jadi, berdasarkan peraturan ini, dalam pelaksanaan hukumnya, pelaku kekerasan seksual terhadap anak diancam dengan hukuman kebiri kimia melalui penggunaan obat/zat kimia selama 2 tahun.

Terlepas dari aspek hukum dan pro-kontra dari peraturan ini, pertanyaannya adalah, apa sih kebiri kimia itu? Bagaimana sains menjelaskannya?

Arti Kebiri Kimia

Menurut KBBI, kebiri merupakan tindakan bedah penghilangan kelenjar testis (buah zakar (pada lelaki/hewan jantan atau pemotongan ovarium (indung telur) pada perempuan/hewan betina sehingga menjadi mandul. Selain melalui operasi, pengebirian dapat juga menggunakan bahan kimia tertentu [1]. Jadi, organ seksualnya masih tetap ada tapi menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. 

Setelah seseorang disuntik zat kimia ini, sinyal dari otak untuk memproduksi hormon testosteron akan diblokir. Karena testosteron tidak terbentuk, maka hasrat seksual (libido) pun akan berkurang dan bahkan hilang. Walaupun demikian, efek ini akan hilang ketika penggunaan zat kimia tersebut dihentikan.

Alasan Kebiri Kimia

Seperti disebutkan di atas, peraturan yang ditandatangani Presiden Jokowi adalah kebiri kimia untuk kasus pedofilia. Pedofilia adalah suatu tindakan seksual orang dewasa terhadap anak-anak [2].  

Pada tahun 80-an, pelaku pedofilia diganjar kebiri dengan operasi pengangkatan testis [2]. Waktu itu, hasil evaluasi mengklaim jika prosedur ini dapat mengurangi pikiran seksual dan frekuensi perilaku seksual secara signifikan. Tetapi, sebagian diantaranya masih bisa melakukan hubungan seksual. Oleh karenanya, prosedur ini dinilai tidak efektif untuk penanganan pelaku pedofilia dan penjahat seks. 

Karena kurang efektif, rekomendasi berikutnya untuk mengganjar penjahat seksual adalah kebiri kimia. Bedanya dengan melalui operasi, kebiri kimia bersifat sementara. Efeknya akan hilang setelah penggunaannya dihentikan. 

Secara umum, beberapa alasan dilakukan kebiri kimia terhadap pelaku menurut Silvani, M., et al. [3] antara lain: 

  1. Untuk mengurangi atau menghilangkan gejala kelainan seksual pelaku, 
  2. Untuk mengontrol tindakan pelecehan seksual secara agresif dan berulang terhadap anak,  
  3. Untuk mengurangi kebiasaan atau nafsu seksual bahkan sampai menghilangkannya. 
  4. Merupakan cara yang lebih mudah untuk melakukan terapi tingkah laku kognitif dan psikoterapi, 
  5. Untuk mengurangi pelaku dari melakukan tindakan pedofilia kembali, 
  6. Ada kemungkinan perilaku pedofilia berkaitan dengan perilaku kelainan seks lainnya. Oleh karenanya, kebiri kimia juga ditujukan untuk mengurangi bahkan menghilangkannya.

Zat kimia yang dapat digunakan

Pada peraturan pemerintah yang ditandatangani, tidak disebutkan secara spesifik zat kimia/obat yang dipakai dalam tindakan kebiri kimia ini. Beberapa yang dapat digunakan diantaranya adalah medroxyprogesterone acetate, cyproterone acetate, triptorelin, dan leuprolide acetate.

1. Medroxyprogesterone acetate (MPA)

Gambar 1. Medroxyprogesterone acetate (MPA)

Medroxyprogesterone acetate (MPA) adalah suatu progestin (hormon progesteron buatan) yang memiliki struktur yang mirip dengan progesteron alami. Pada perempuan, MPA biasa dipakai sebagai alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan karena dapat menghambat pelepasan telur (ovulasi) dan mengurangi jumlah dan kelenturan lendir leher rahim (serviks) [4]. 

Pada laki-laki, penggunaan MPA dapat mengurangi kadar testosteron dan dorongan seksual. MPA pertama kali digunakan untuk pengebirian kimia pada tahun 1990 [5]. Obat ini disuntikan dengan dosis 300 mg per hari selama 2 tahun. Setelah 2 minggu sejak penyuntikan, terjadi pengurangan kadar testosterone dalam darah sebanyak 73%, 300% peningkatan prolaktin (hormon yang berperan dalam produksi susu), dan pengurangan ereksi baik nocturnal maupun melalui stimulasi yang dapat diamati. Kemampuan ereksi bahkan tetap berkurang setelah dua bulan penggunaan obat dihentikan.

Efek samping penggunaan obat ini dalam jangka panjang adalah berkurangnya toleransi terhadap gula/karbohidrat akibat meningkatnya kadar insulin normal. Selain itu, penggunaan obat dalam waktu lama juga meningkatkan kecenderungan terjadinya obesitas [6].

2. Cyproterone acetate (CPA)

Gambar 2. Cyproterone acetate (CPA)

Cyproterone acetate (CPA) digunakan untuk kebiri kimia pada tahun 1960-an di Eropa dan pada tahun 1986 di Kanada [7]. Sama seperti MPA, CPA adalah suatu progestin yang juga dapat mengurangi nafsu seksual dan dapat menyebabkan disfungsi seksual pada pria dengan mengurangi kadar testosteron dalam darah [7]. Penggunaan CPA dosis tinggi juga dapat mengurangi fantasi dan aktivitas seksual pada lelaki secara signifikan [8]. Hasrat seksual berkurang setelah seminggu penggunaan dan pengurangan menjadi maksimal setelah 3-4 minggu [9]. 

3. Triptorelin

Gambar 3. Triptorelin

Triptorelin (pGlu-His-Trp-Ser-Tyr-D-Trp-Leu-Arg-Pro-Gly-NH2) adalah analog dari hormon pelepas Gonadotropin (Gonadotropin-releasing hormone, GnRH) [10]. GnRH dihasilkan oleh bagian otak bernama hipotalamus dan dialirkan melalui aliran darah menuju kelenjar pituitari untuk memicu pelepasan follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). Pada wanita, peningkatan FSH dan LH memicu produksi hormon estrogen dan pelepasan sel telur, sedangkan pada pria memicu produksi testosteron [11]. 

Penggunaan triptorelin pada pria dapat menghambat pelepasan LH dan FSH sehingga mencegah pembentukan testosteron. Setelah penggunaan zat ini, perilaku kelainan seksual pelaku berakhir dan terjadi penurunan fantasi dan aktivitas seksual secara drastis [10]. Efek samping penggunaan obat dalam waktu lama adalah impotensi, penurunan kerapatan tulang, dan hot flash (perasaan panas tiba-tiba di wajah, leher, dan dada) [12].

4. Leuprolide acetate

Gambar 4. Leuprolide acetate

Leuprolide acetate (5-oxo- L -prolyl- L -histidylL -tryptophyl- L -seryl- L -tyrosyl- D -leucyl- L -leucyl- L -arginyl-N -ethyl- L -prolinamide acetate) merupakan analog GnRH lainnya [13]. Cara kerjanya mirip dengan triptorelin untuk menghambat pembentukan testosteron. Penggunaan zat ini selama setahun terhadap pelaku pedofilia dengan penyuntikan setiap tiga bulan menunjukkan terjadinya penurunan kadar testosteron dalam darah secara signifikan dan dapat mengontrol keinginan untuk kembali melakukan tindakan pedofilia [14]. Subjek terapi juga mengalami peningkatan konsentrasi dalam melakukan berbagai aktivitas seperti bekerja, belajar, dan lainnya tanpa terganggu oleh pikiran-pikiran kotornya. Efek samping dari penggunaan obat ini adalah kegemukan, hot flash, mengecilnya ukuran penis, dan impotensi [14].

Tidak semua setuju

Walaupun kebiri kimia untuk mengurangi perilaku seksual menyimpang terbilang efektif, tidak semua setuju dengan tindakan tersebut. Di Indonesia, menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual tidak menyelesaikan akar masalah yang terletak pada mental dan pola pikir pelaku [15]. Tindakan ini tidak menimbulkan efek jera. Selain itu, menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), kebiri kimia membutuhkan biaya mahal dari mulai pelaksanaan kebirinya sendiri sampai rehabilitasi psikiatri, sosial, dan medis bagi terpidana [15]. Biaya ini lebih baik digunakan untuk merehabilitasi korban yang mengalami trauma akibat kejahatan pelaku.

Kalau kamu gimana nih sobat sains? Setuju gak dengan kebiri kimia? Tulis pendapatmu di bagian komentar ya!

 

Referensi:

[1] C. Meisenkothen, “Chemical Castration — Breaking the Cycle of Paraphiliac Recidivism,” Soc. Justice, vol. 26, no. 1 (75), pp. 139–154, 1999.

[2] J. R. Hughes, “Review of Medical Reports on Pedophilia,” Clin. Pediatr. (Phila.), vol. 46, no. 8, pp. 667–682, Oct. 2007, doi: 10.1177/0009922807301483.

[3] M. Silvani, N. Mondaini, and A. Zucchi, “Androgen deprivation therapy (castration therapy) and pedophilia: What’s new,” Arch. Ital. Urol. Androl. Organo Uff. Soc. Ital. Ecogr. Urol. E Nefrol., vol. 87, no. 3, pp. 222–226, Sep. 2015, doi: 10.4081/aiua.2015.3.222.

[4] S. Bakry, Z. O. Merhi, T. J. Scalise, M. S. Mahmoud, A. Fadiel, and F. Naftolin, “Depot-medroxyprogesterone acetate: an update,” Arch. Gynecol. Obstet., vol. 278, no. 1, pp. 1–12, Jul. 2008, doi: 10.1007/s00404-007-0497-z.

[5] A. J. Cooper, S. Sandhu, S. Losztyn, and Z. Cernovsky, “A double-blind placebo controlled trial of medroxyprogesterone acetate and cyproterone acetate with seven pedophiles,” Can. J. Psychiatry Rev. Can. Psychiatr., vol. 37, no. 10, pp. 687–693, Dec. 1992, doi: 10.1177/070674379203701003.

[6] R. B. Krueger, W. Hembree, and M. Hill, “Prescription of medroxyprogesterone acetate to a patient with pedophilia, resulting in Cushing’s syndrome and adrenal insufficiency,” Sex. Abuse J. Res. Treat., vol. 18, no. 2, pp. 227–228, Apr. 2006, doi: 10.1177/107906320601800208.

[7] A. J. Cooper and Z. Cernovovsky, “The Effects of Cyproterone Acetate on Sleeping and Waking Penile Erections in Pedophiles: Possible Implications for Treatment*,” Can. J. Psychiatry, vol. 37, no. 1, pp. 33–39, Feb. 1992, doi: 10.1177/070674379203700108.

[8] A. A. Assumpção, F. D. Garcia, H. D. Garcia, J. M. W. Bradford, and F. Thibaut, “Pharmacologic Treatment of Paraphilias,” Psychiatr. Clin. North Am., vol. 37, no. 2, pp. 173–181, Jun. 2014, doi: 10.1016/j.psc.2014.03.002.

[9] U. Laschet and L. Laschet, “Antiandrogens in the treatment of sexual deviations of men,” J. Steroid Biochem., vol. 6, no. 6, pp. 821–826, Jun. 1975, doi: 10.1016/0022-4731(75)90310-6.

[10] F. Thibaut, B. Cordier, and J.-M. Kuhn, “Effect of a long-lasting gonadotrophin hormone-releasing hormone agonist in six cases of severe male paraphilia,” Acta Psychiatr. Scand., vol. 87, no. 6, pp. 445–450, 1993, doi: https://doi.org/10.1111/j.1600-0447.1993.tb03402.x.

[11] O. O. Oduwole, H. Peltoketo, and I. T. Huhtaniemi, “Role of Follicle-Stimulating Hormone in Spermatogenesis,” Front. Endocrinol., vol. 9, 2018, doi: 10.3389/fendo.2018.00763.

[12] A. Rösler and E. Witztum, “Treatment of men with paraphilia with a long-acting analogue of gonadotropin-releasing hormone,” N. Engl. J. Med., vol. 338, no. 7, pp. 416–422, Feb. 1998, doi: 10.1056/NEJM199802123380702.

[13] A. C. Wilson, S. V. Meethal, R. L. Bowen, and C. S. Atwood, “Leuprolide acetate: a drug of diverse clinical applications,” Expert Opin. Investig. Drugs, vol. 16, no. 11, pp. 1851–1863, Nov. 2007, doi: 10.1517/13543784.16.11.1851.

[14] J. M. Schober, P. J. Kuhn, P. G. Kovacs, J. H. Earle, P. M. Byrne, and R. A. Fries, “Leuprolide Acetate Suppresses Pedophilic Urges and Arousability,” Arch. Sex. Behav., vol. 34, no. 6, pp. 691–705, Dec. 2005, doi: 10.1007/s10508-005-7929-2.

[15] “Kebiri kimia: Pro-kontra tindakan pelaku kejahatan seksual,” BBC News Indonesia.

 

Exit mobile version