Site icon SainsPop

Varian SARS-CoV-2: Mengapa Terus Bermunculan?

Creator: matejmo | Credit: Getty Images

Sudah setahun berlalu tetapi pandemi COVID-19 justru malah memuncak. Berbagai varian virus terus bermunculan. Empat yang terkenal (alfa, beta, gamma, delta), yang disebut oleh Lembaga Kesehatan Dunia (WHO) sebagai variant of concern (VOC), telah menyebabkan meningkatnya penularan, gejala yang lebih berat, bahkan menurunkan efektivitas penanganan [1-3].

Varian delta, yang dikenali pertama kali pada bulan Oktober 2020 di India, naik kelas dari variant of interest (VOI) menjadi VOC pada 11 Mei 2021 karena telah menyebabkan peningkatan penularan secara global [1,4]. Varian yang disebut sebagai mutan ganda (double mutant) ini menjadi pemeran utama dalam kolapsnya sistem kesehatan di India, dan mungkin juga di Indonesia jika kita tidak mengambil langkah bijak.

Varian alfa (baca lebih rinci di https://sainspop.com/blog/2021/01/02/varian-baru-virus-penyebab-covid-19-dari-inggris/) yang ditemukan di Inggris, beta di Afrika Selatan, dan gamma di Brazil sejauh ini masih kalah dari varian delta dalam menyumbang beban kesehatan dunia.

Dulu di awal pandemi dikatakan bahwa meskipun merupakan virus bertipe RNA, coronavirus merupakan jenis yang tidak mudah mengalami mutasi. Lalu mengapa bisa muncul varian-varian tersebut?

Semakin banyak dan sering virus memperbanyak diri, semakin tinggi peluang terjadinya mutasi

Mutasi itu wajar terjadi ketika proses memperbanyak diri. Ibaratnya seperti proses pencetakan buku, pasti akan ada cacat. Akan tetapi, cacat tersebut bisa diatasi dengan adanya quality control. Virus RNA diketahui lebih mudah bermutasi dibandingkan dengan virus DNA. Hal itu secara teoritis tidak berlaku untuk coronavirus, karena dia memiliki quality control yang lebih baik dibandingkan jenis virus RNA lainnya. Coronavirus memiliki enzim yang dapat membuang kode-kode genetik (nukleotida) penyebab mutasi pada proses memperbanyak diri. Meskipun demikian, tetap saja ada mutasi yang lolos jika proses replikasi (memperbanyak diri) terlalu banyak dan quality control menjadi kewalahan [2].

Apakah mutasi selalu membuat virus lebih kuat?

Sebenarnya mutasi tidak selalu membuat virus menjadi lebih kuat. Lokasi terjadinya mutasi menentukan kemampuan virus untuk bertahan. Tidak sedikit mutasi yang membuat virus justru menjadi lemah dan tidak dapat bertahan sehingga hilang dengan sendirinya. Ada juga mutasi yang tidak mempengaruhi kemampuan virus. Masalahnya, mutasi itu terjadi secara acak. Ketika mutasi yang terjadi menghasilkan varian virus yang lebih kuat, lebih mudah menginfeksi, dan menyebabkan gejala yang lebih berat, mencegah penyebarannya menjadi sulit [5]. Pada umumnya, mutasi tersebut terjadi pada protein S. Protein S adalah struktur virus bagian luar berbentuk mirip paku yang menjadi kunci bagi virus untuk bisa memasuki sel manusia. Dengan menggunakan protein ini, virus dapat membajak mesin fotokopi di dalam sel manusia untuk memperbanyak dirinya. Dalam beberapa kasus, mutasi pada protein S dapat meningkatkan kemampuan virus untuk masuk ke dalam sel [2,3]. Ibaratnya kalau virus versi asli perlu ketok pintu dan ramah tamah dulu baru bisa masuk, virus yang telah bermutasi udah punya kunci pintunya dan bisa langsung masuk.

Protein S juga berfungsi sebagai tanda pengenal virus sehingga sistem pertahanan tubuh kita dapat mengenalinya. Mutasi pada protein S dapat mengaburkan tanda pengenal tersebut sehingga sistem pertahanan tubuh kita terpedaya. Akibatnya, virus memperbanyak diri terus menerus dan lebih sulit untuk disingkirkan oleh sistem pertahanan tubuh kita. Kadar virus dalam tubuh menjadi banyak sehingga dapat menyebabkan gejala lebih berat dan/atau lebih mudah menular [2,3]. Orang yang tertular kemudian akan mengalami hal yang serupa. Semakin banyak orang yang tertular dengan varian virus yang mengalami mutasi tersebut, semakin sulit virus disingkirkan. Terlebih lagi, semakin sering virus memperbanyak diri, semakin tinggi kemungkinan terjadinya mutasi. Varian yang telah bermutasi tetap bisa mengalami mutasi lagi ketika terus-menerus memperbanyak diri. Mutasi yang dialami juga bisa membuatnya menjadi lebih kuat lagi [5].

Proses yang disebutkan di atas juga dapat menjelaskan mengapa orang yang pernah terinfeksi COVID-19 dapat kembali mengalami infeksi. Mutasi pada tanda pengenal virus dapat mengecoh antibodi yang telah diperoleh [3].

Memutus penularan dapat mencegah munculnya varian-varian baru

Mutasi yang menyebabkan munculnya varian-varian baru dapat dicegah ketika kita bisa menekan angka penularan. Ketika penularan menurun, jumlah virus yang memperbanyak diri otomatis juga menurun. Peluang terjadinya mutasi juga ikut menurun. Varian yang sudah ada lama-lama akan mengalami seleksi alam ketika tidak bisa lagi menginfeksi orang [5]. Bagaimana caranya?

Menerapkan protokol kesehatan dan vaksinasi dapat mengurangi jumlah virus yang beredar di populasi. Ketika ada orang yang terinfeksi dan dia tidak menularkan kepada orang lain, virus hanya akan memperbanyak diri di dalam tubuh orang itu. Walaupun pada awalnya sistem imun dapat terkecoh oleh si virus, seiring waktu sistem imun belajar untuk menyingkirkan virus tersebut hingga pada akhirnya tidak ada lagi virus yang bisa bertahan. Ketika sistem imun belum punya cukup waktu untuk belajar tetapi virus sudah terlanjur menular ke orang lain akibat lalai akan protokol kesehatan, bisa dibayangkan bagaimana virusnya akan semakin merajalela. Sementara itu, vaksinasi akan membuat sistem imun belajar lebih cepat dan lebih efektif. Waktu yang dibutuhkan untuk menyingkirkan virus dalam tubuh seseorang akan lebih cepat sehingga virus tidak sempat ditularkan ke orang lain atau tidak cukup banyak untuk bisa menular [2,3,5].

Sederhana saja kan sebenarnya. Kita semua harus bekerja sama karena semakin sedikit yang lengah, semakin sedikit pula virus yang dapat menyebar dan memperbanyak diri. Kedepannya, peluang munculnya varian-varian baru dapat ditekan sementara varian-varian yang ada dapat perlahan tersingkir. Jangan sampai malah varian-varian yang ada menjadi variant of high consequence, yaitu varian yang terbukti kebal dari vaksin maupun pengobatan spesifik, serta dapat menyebabkan penyakit yang jauh lebih berat dan meningkatkan kebutuhan perawatan di rumah sakit [3].

Referensi

[1] Tracking SARS-CoV-2 variants [Internet]. World Health Organization; 6 Juli 2021 [diakses pada 9 Juli 2021]. Diakses dari: https://www.who.int/en/activities/tracking-SARS-CoV-2-variants/

[2] Boehm E et al., Novel SARS-CoV-2 variants: the pandemics within the pandemic, Clinical Microbiology and Infection, https://doi.org/10.1016/j.cmi.2021.05.022.

[3] Janik, E., Niemcewicz, M., Podogrocki, M., Majsterek, I., Bijak, M., The emerging concern and interest SARS-CoV-2 variants, Pathogens 2021, 10, 633, https://doi.org/10.3390/ pathogens10060633.

[4] Wright L, Wesolowski K, Eisele I. Fact check: What do we know about the coronavirus delta variant? [Internet]. Deutsche Welle; 30 Juni 2021 [diakses pada 9 Juli 2021]. Diakses dari: https://www.dw.com/en/fact-check-what-do-we-know-about-the-coronavirus-delta-variant/a-57949754.

[5] Vox. Why so many Covid-19 variants are showing up now [Video]. 16 Juni 2021 [diakses pada 9 Juli 2021]. Diakses dari: https://www.youtube.com/watch?v=Ha6yUxze1vk.

Exit mobile version