Test cepat atau rapid test sedang menjadi hal yang banyak dibicarakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Test ini berhubungan dengan pandemi COVID-19 yang masih berlangsung hingga saat ini. Sebelum membahas lebih lanjut terkait test cepat yang dilakukan di negara kita, yuk simak kutipan berikut ini!.
Medicine is a science of uncertainty and an art of probability. Ilmu kedokteran adalah sains ketidakpastian dan seni kemungkinan. Ucapan terkenal William Osler, dokter pendiri Rumah Sakit John Hopkins ini, kiranya tepat sekali untuk menjelaskan perspektif utuh tentang tes cepat (rapid test) COVID-19 yang kini banyak disalahpahami.
Di negara kita, ada anggapan bahwa tes cepat (rapid test) COVID-19 adalah cara yang mutlak untuk memvonis apakah seseorang menderita COVID-19 atau tidak. Hasil tes positif dianggap kabar buruk. Sementara yang hasil tes negatif dianggap kabar baik. Padahal ada beberapa kemungkinan yang bisa jadi akan membalik kabar buruk dan kabar baik tersebut.
Untuk memahami persoalan ini, pertama-tama kita harus memahami mekanisme infeksi virus. Ketika virus korona (SARS-CoV-2) masuk ke dalam tubuh kita, serangan awalnya belum kita rasakan dalam bentuk gejala sakit. Ini dikenal dengan nama “masa inkubasi”. Pada masa inkubasi, dampak dari serangan virus ini belum cukup untuk membunyikan alarm keadaan genting bagi tubuh penderita (seperti api dan alarm kebakaran). Waktu inkubasi adalah waktu bagi api untuk tumbuh besar sampai ia bisa dideteksi oleh alarm. Dalam hal virus korona ini, masa inkubasi ini sekitar 2 minggu, bisa lebih..
Setelah masa inkubasi ini dilewati, gejala mulai kelihatan berupa batuk dan demam. Alarm mulai berbunyi. Beberapa hari kemudian, tubuh akan berusaha melawan virus itu dengan cara membuat kekebalan awal dengan molekul antibodi bernama Immunoglobulin M (IgM) (baca artikel sebelumnya untuk lebih jelasnya). Persis seperti panglima TNI yang merespons dengan cara mengirim tentara untuk menumpas pemberontakan.
Tes cepat (rapid test) ibarat kamera drone yang kita kirim ke lokasi, yang bisa mengenali seragam loreng TNI tapi tidak bisa mengenali pakaian pemberontak karena mereka tidak berseragam. Di sinilah salah paham sering kali muncul. Tes cepat yang lazim dilakukan di negara kita hanya mendeteksi adanya antibodi, bukan virusnya sendiri.
Hasil tes cepat (rapid test) bisa positif atau negatif. Selama ini kita sering menganggap tes cepat seperti hukum pasti: jika positif maka pasti begini dan jika negatif maka pasti begitu. Padahal tes cepat lebih tepatnya menunjukkan kemungkinan-kemungkinan: jika positif kemungkinannya begini dan jika negatif kemungkinannya begitu.
Untuk lebih detailnya, mari kita bahas satu-satu:
Hasil Rapid Test Positif
Ketika hasil tes positif, itu berarti kita hanya tahu bahwa di dalam tubuh sudah ada antibodi. Sudah ada tentara di seluruh penjuru kota. Apa maknanya? Ada tiga kemungkinan di sini:
- Kemungkinan pertama, pasien itu sedang sakit. Bisa jadi saat itu memang para tentara (antibodi) sedang berperang menumpas pemberontak (virus). Artinya, pemberontakan (infeksi) memang sedang berlangsung. Kalau kemungkinan ini yang terjadi, berarti memang pasien itu harus menjalani isolasi dan perawatan agar tidak menulari orang lain. Tapi ini hanya salah satu kemungkinan.
- Kemungkinan kedua, orang itu pernah terinfeksi tapi sekarang sudah sembuh. Misalnya, ia terinfeksi sebulan sebelumnya tapi ia tidak menyadarinya karena hanya mengalami gejala batuk ringan atau demam ringan. Kebetulan daya tahan tubuhnya cukup bagus sehingga tubuh bisa langsung memproduksi antibodi untuk mengikat dan mengimobilisasi virus agar bisa dikenali dan dihancurkan. Pada saat ia menjalani tes cepat, di dalam tubuhnya sudah terdapat antibodi tapi virusnya sendiri sudah tidak terdeteksi. Analoginya mirip dengan kondisi ketika di jalanan ada banyak tentara tapi mereka hanya berjaga-jaga karena pemberontakan yang terjadi sebulan lalu sudah berhasil dipadamkan. Namun, karena kita tidak tahu sudah berapa lama antibodi itu ada di dalam tubuh, maka kita hanya bisa melakukan tindakan waspada. Anggap saja infeksinya sedang berlangsung dan orang yang bersangkutan harus menjalani isolasi. Semua anggota keluarganya juga harus diperiksa. Untuk memastikan keberadaan virus, ia harus menjalani tes polymerase chain reaction (PCR). Jika hasil tes PCR positif, berarti memang infeksi sedang terjadi dan pasien harus diisolasi. Jika hasil tes PCR negatif kemudian ia bisa melewati masa isolasi minimal dua minggu dan kesehatannya baik-baik saja, dia baru boleh merasa lega. Virus ini masih terhitung baru. Masih banyak hal yang belum kita ketahui. Kalaupun seseorang sudah memiliki antibodi, kita tidak benar-benar tahu apakah ia memang akan kebal atau tidak. Harusnya sih kebal, tapi semua kemungkinan masih bisa terjadi karena itu kita harus tetap waspada. Walaupun sudah punya antibodi, orang itu tetap harus mengikuti pembatasan sosial, pakai masker, dan rajin cuci tangan.(1,2,3,4)
- Kemungkinan ketiga, positif tapi salah. Istilah analitiknya positif palsu. Ini hasil tes yang menipu. Sebetulnya di dalam tubuhnya tidak ada antibodi COVID-19 tapi terbaca positif. Mirip kamera drone yang keliru, menganggap orang sipil berbaju hijau sebagai tentara. Kemungkinan ini bisa saja terjadi karena keterbatasan alat. Spesifitas tiap produk kit tes cepat berbeda-beda. Ada yang sangat baik sampai mendekati 100% tapi ada pula yang rendah. Secara umum, menurut sebuah penelitian, spesifitas tes cepat sekitar 91%. Artinya peluang terjadinya positif palsu masih cukup besar.(5,6). Untuk mengurangi kemungkinan ini, tes cepat perlu diulang lagi atau dilakukan tes PCR.
Hasil Rapid Tes Negatif
Ketika hasil tes negatif, itu berarti kita hanya tahu bahwa di dalam tubuh tidak ada antibodi COVID-19. Tidak ada tentara di jalanan. Apa maknanya? Ada tiga kemungkinan di sini:
- Kemungkinan pertama, pasien sehat. Ini kemungkinan yang disukai semua orang. Biasanya orang yang hasil tesnya negatif akan menyampaikan kabar ini dengan ungkapan “alhamdulilah negatif”. Bisa dapat surat keterangan sehat dan bebas COVID-19. Padahal sebetulnya ini hanya salah satu kemungkinan. Masih ada kemungkinan lain. Seandainya pun ia memang bebas COVID-19, status ini hanya berlaku sementara. Setiap saat kita semua berpeluang terinfeksi, terutama jika kita banyak berinteraksi dengan banyak orang. Jadi, surat keterangan bebas COVID-19 itu sebetulnya hanya berlaku sementara. Hari ini kita mungkin bebas virus korona, tapi besok mungkin saja kita sudah terinfeksi karena tertular saat kita naik angkutan umum.
- Kemungkinan kedua, orang itu sudah terinfeksi virus korona tapi tubuhnya belum memproduksi antibodi. Ketika hasil tes negatif, kita hanya tahu bahwa di dalam tubuh tidak ada antibodi. Tapi ketiadaan antibodi ini bisa juga karena belum ada. Kalau seseorang terinfeksi virus korona pada hari ini lalu tiga hari kemudian menjalani tes cepat, maka antibodinya memang belum diproduksi. Biasanya antibodi baru akan diproduksi satu minggu setelah munculnya gejala. Analoginya sama dengan kondisi pemberontakan. Ketika para pemberontak mulai menyusup di sebuah kota, panglima TNI belum mendapat laporan adanya musuh. Para pemberontak bersembunyi di kota itu selama dua minggu (masa inkubasi). Setelah itu, ketika para pemberontak itu mulai melakukan kejahatan (mulai timbul gejala), TNI masih membutuhkan waktu beberapa hari sampai tentara yang dikirim tiba ke daerah tersebut. Kalau tes cepat dilakukan selama masa inkubasi itu, hasilnya memang akan negatif sebab memang belum ada antibodi (tentara) di dalam darah. Tapi hasil ini bisa menipu. Untuk memperkecil kemungkinan tertipu, tes harus diulangi lagi sekitar 7-10 hari kemudian. Harapannya, kalau memang sudah ada infeksi, tubuh sudah memproduksi antibodi dan terdeteksi di tes cepat.
- Kemungkinan ketiga, negatif tapi keliru. Negatif palsu. Sebetulnya di dalam tubuh sudah ada antibodi tapi alat tes tidak bisa mendeteksinya. Sama dengan positif palsu, kemungkinan ini terjadi karena keterbatasan alat. Sensitivitas tiap produk kit tes cepat berbeda-beda. Ada yang di atas 90%, ada pula yang di bawahnya. Tapi secara umum, menurut sebuah penelitian, tingkat sensitivitas tes cepat sekitar 89%. Artinya kemungkinan terjadinya negatif palsu juga masih cukup besar.(5,6). Karena itulah untuk memperkecil kemungkinan salah, tes cepat perlu diulangi lagi, apalagi jika ada riwayat kontak dekat dengan pasien COVID-19.
Dari poin-poin di atas, kita bisa melihat bahwa hasil tes cepat (rapid test) bisa menunjukkan berbagai kemungkinan. Karena itulah tes cepat (rapid test) COVID-19 tidak bisa digunakan sebagai cara utama mendiagnosis melainkan sekadar penunjang. Badan Kesehatan Dunia WHO sendiri menyarankan tes cepat (rapid test) COVID-19 lebih tepat untuk tujuan survei, bukan diagnosis.(10) Ringkasnya, hasil rapid test COVID-19 dengan spesifitas dan sensitivitas rendah bisa menunjukkan banyak ketidakpastian dan kemungkinan. Kabar buruk dan kabar baik bisa saling berkelindan.
Referensi
- https://www.centerforhealthsecurity.org/our-work/pubs_archive/pubs-pdfs/2020/200422-national-strategy-serology.pdf
- https://www.vox.com/2020/5/1/21240123/koronavirus-quest-diagnostics-antibody-test-covid
- https://theconversation.com/koronavirus-tests-are-pretty-accurate-but-far-from-perfect-136671
- https://www.who.int/news-room/commentaries/detail/immunity-passports-in-the-context-of-covid-19
- https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/20008686.2020.1754538#
- https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/jmv.25727
- https://www.theverge.com/2020/5/7/21248734/koronavirus-antibody-tests-explained-covid-19-immunity-accurate
- https://www.bjid.org.br/en-covid-19-meta-analysis-diagnostic-test-accuracy-avance-S1413867020300295
- https://www.npr.org/sections/health-shots/2020/04/21/838794281/study-raises-questions-about-false-negatives-from-quick-covid-19-test
- https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4997487/rapid-test-negatif-abg-di-banjarnegara-ini-ternyata-positif-korona
https://www.who.int/news-room/commentaries/detail/advice-on-the-use-of-point-of-care-immunodiagnostic-tests-for-covid-19
1 Comment
Menarik sekali, terimakasih