Sebelumnya, SainsPOP pernah membahas mengenai kandungan bakteri di spons pencuci piring yang ternyata sangat banyak (untuk yang belum baca, silakan klik link ini). Ternyata, bakteri tidak hanya bisa hidup di spons pencuci saja, di wajan masak atau di tempat nyimpan makanan pun, bakteri bisa hidup. Mereka dapat berlindung di celah-celah kecil yang ada di wajan tersebut. Kalo secara langsung, mungkin celah-celah tersebut gak akan kelihatan, tapi kalo dilihat pakai mikroskop, akan terlihat celah-celah panjang yang di dalamnya kemungkinan besar masih terkandung sisa makanan yang susah hilang walaupun sudah dicuci pakai sabun. Karena celah-celah itu mengandung makanan yang sulit dihilangkan, maka sempurna lah jadi tempat berlindung dan berkembangbiak yang aman bagi bakteri [1]. Apalagi bakteri-bakteri tersebut bisa membuat lapisan pelindung yang tahan panas, asam, dan tekanan lainnya, maka akan lebih susah untuk dihilangkan dan dibersihkan. Lalu, apa hubungannya bakteri dengan minyak goreng?
Bakteri akan jadi bermasalah apabila dapat menyebabkan penyakit [2]. Apalagi saat ini bakteri penyebab penyakit yang resisten terhadap antibiotik mulai banyak. Sebagai catatan, diperkirakan sebanyak 2 juta orang meninggal tiap tahunnya di negara berkembang gara-gara memakan makanan yang telah terkontaminasi bakteri penyebab penyakit [3]. Jadi salah satu cara selain mengurangi penggunaan antibiotik yang berlebihan adalah membudayakan cara hidup bersih dan sehat. Masalahnya, bagaimana dengan bakteri yang bisa hidup di celah-celah ketel dan tempat makanan berbahan stainless steel tersebut? Mereka kan susah banget dihilangkan walaupun sudah di cuci. Apalagi pada alat-alat masak besar untuk skala industri, lebih susah lagi untuk dibersihkan.
Cara yang bisa dilakukan adalah dengan melapisi wadah stainless steel tersebut dengan zat kimia anti mikroba yang juga dapat mengurangi penempelan residu sisa makanan [1]. Beberapa caranya adalah dengan mengurangi energi permukaan dengan pelapisan ion (seperti H+, F+, dan Si+), pelapisan dengan polimer hidrofilik (zat penyuka air seperti Poli-Etilen Glikol, PEG), dan pelapisan dengan polimer hidrofobik (zat tidak suka air, seperti Teflon) [3]. Walaupun Teflon juga dapat mengurangi penempelan dan perkembangbiakan bakteri, tapi prosesnya susah, mahal, dan ada kemungkinan menghasilkan kontaminan yang tidak aman [4]. Hasil penelitian menunjukan bahwa kontaminan tersebut telah ditemukan pada tubuh manusia, walaupun jumlahnya tidak signifikan [5].
Atas alasan tersebut, sekelompok peneliti dari Kanada dan Mesir mencari zat lain yang ada di alam yang bisa dijadikan bahan pelapis yang murah dan ramah lingkungan. Mereka menemukan bahwa penambahan minyak goreng (seperti minyak jagung dan minyak zaitun) pada permukaan logam dapat menangkal bakteri dan mencegah kontaminasi mikroorganisme patogen seperti Salmonella (penyebab penyakit tifus), Listeria dan E. coli (penyebab keracunan makanan) [3]. Sebelum pelapisan dengan minyak goreng, permukaan stainless steel dilapisi dulu dengan lapisan zat pengikat minyak (asam alkilfosfonat).Minyak tersebut dapat memasuki celah-celah kecil pada alat masak stainless steel dan membentuk lapisan hidrofobik yang mencegah kontaminasi bakteri dan sisa makanan pada celah-celah permukaannya.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa level kontaminasi dengan pelapisan ini berkurang drastis sampai seribu kalinya. Mereka juga menyebutkan bahwa pelapisan ini tahan lama bahkan tetap efektif walaupun sudah mengalami pencucian berulang kali. Walaupun demikian, mereka masih ingin mencoba mencari kombinasi minyak yang lebih efektif sebelum diaplikasikan pada peralatan masak dan dipasarkan. Tapi setidaknya, hasil ini cukup menjanjikan.
Referensi:
[1] T. S. Awad, D. Asker, and B. D. Hatton, “Food-Safe Modification of Stainless Steel Food-Processing Surfaces to Reduce Bacterial Biofilms,” ACS Appl. Mater. Interfaces, vol. 10, no. 27, pp. 22902–22912, Jul. 2018.
[2] M. Rivera-Betancourt et al., “Prevalence of Escherichia coli O157:H7, Listeria monocytogenes, and Salmonella in two geographically distant commercial beef processing plants in the United States,” J. Food Prot., vol. 67, no. 2, pp. 295–302, Feb. 2004.
[3] O. A. Odeyemi and N. A. Sani, “Antibiotic resistance and burden of foodborne diseases in developing countries,” Future Sci OA, vol. 2, no. 4, Sep. 2016.
[4] V. B. Damodaran and N. S. Murthy, “Bio-inspired strategies for designing antifouling biomaterials,” Biomaterials Research, vol. 20, no. 1, p. 18, Jun. 2016.
[5] T. H. Begley, K. White, P. Honigfort, M. L. Twaroski, R. Neches, and R. A. Walker, “Perfluorochemicals: potential sources of and migration from food packaging,” Food Addit Contam, vol. 22, no. 10, pp. 1023–1031, Oct. 2005.
dan dapatkan konten-konten menarik tentang sains dan teknologi langsung di inbox email kamu
0 Comments
satu-satunya fakultas SAINTEK di Sumatera Utara http://fst.uma.ac.id/ yang memiliki program studi biologi terbaik http://biologi.uma.ac.id/ dengan fasilitas laboratorium yang lengkap dan sarana prasarana perkuliahan yang sangat memadai. Mari bereksperimen bersama kami di fakultas #SainsdanTeknologiUMA kampus sehat, kampus bestari http://www.uma.ac.id